Friday, April 15, 2016

Catatan diskusi DIM RUUJK

DISKUSI DIM RUU JASA KONSTRUKSI

Pengantar:
Undang-Undang sebagai fungsi hukum tentu diharapkan berlaku dalam jangka waktu panjang dan tidak mudah usang dihadapkan dengan perkembangan masyarakat. Ketentuan cara perubahan yang sulit dimaksudkan agar perubahan undang-undang dilakukan dengan pertimbangan yang benar-benar matang, bukan pertimbangan sederhana apalagi hanya karena keinginan atau kepentingan kelompok tertentu. Mekanisme khusus juga dimaksudkan agar dalam proses perubahan undang-undang memberikan ruang dan waktu yang memadai bagi masyarakat jasa konstruksi untuk menyampaikan pandangan dan terlibat dalam diskursus publik.
Dengan demikian, undang-undang akan benar-benar terwujud sebagai kesepakatan bersama seluruh stakeholders, bukan produk “elit politik” semata. Karena itu, usulan perubahan undang-undang harus dilandasi oleh pemikiran mendasar dan penting (secara filosofis dan sosiologis). Pemikiran mendasar dimaksudkan bahwa perubahan tersebut dilandasi oleh perubahan mendasar yang terjadi di masyarakat atau perubahan tersebut benar-benar dibutuhkan untuk memperbaharui tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Perubahan juga harus bersifat penting, artinya tidak ada jalan lain yang dapat dilakukan selain melalui perubahan secara formal dengan filosofi dasar: “Hukum pada masa ini dan hukum pada masa lampau merupakan satu kesatuan. Itu berarti bahwa kita dapat mengerti hukum kita pada masa kini, hanya dengan penyelidikan sejarah; bahwa mempelajari hukum secara ilmu pengetahuan harus bersifat juga mempelajari sejarah. Azas dari segala penyelidikan keilmuan ialah bahwa memperoleh pengertian tentang gejala-gejala tak akan mungkin dengan tiada mengetahui hubungan-hubungannya.”
(L. J. Van Apeldoorn, di dalam bukunya “Pengantar Ilmu Hukum”).

Pokok-pokok Diskusi:
1. Usulan perubahan UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi yang merupakan hak inisiasif DPR RI (Komisi V), telah melalui kajian Naskah Akademis yang dalam pembahasannya tetap dengan nama Undang-Undang Jasa Konstruksi. 
2. Subtansi isi RUU Jasa Konstruksi inisiatif DPR RI dan DIM RUUJK dari Pemerintah pada hakekatnya berbeda secara filosofis dan sosiologis terhadap dasar lahirnya UU Jasa Konstruksi No.18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, sehingga RUU ini  selayaknya menjadi UU Usaha Konstruksi bukan UU pengganti UU No. 18 tahun 1999 karena wilayah Jasa dengan wilayah Usaha adalah merupakan wilayah yang berbeda.
3. Lembaga sebagai satu-satunya wadah bersama bagi 4 (empat) pemangku kepentingan Jasa Konstruksi dalam kesetaraan, dengan 5 (lima) tugas pokok dan fungsi yang dalam kurun waktu 16 tahun ini telah menjalankan tugasnya dengan terus melakukan perbaikan pelaksanaannya dengan mengacu kepada perbaikan dan perkuatan produk hukum baik Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Menteri, sehingga diharapkan perubahan UU Jasa Konstruksi tidak perlu menghilangkan payung induk keberadaan Lembaga dan peran Asosiasi karena hal ini bukan konsepsi pembinaan yang baik dan berkelanjutan.
4. Perbaikan proses sertifikasi dan registrasi dalam kurun waktu 4 tahun terakhir dengan terbitnya Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2010, dimana Lembaga telah membentuk 33 Unit Sertifikasi Badan Usaha (USBU) dan 33 Unit Sertifikasi Tenaga Kerja (USTK) dan lebih dari 30 Unit Sertifikasi Tenaga Kerja bentukan Masyarakat (USTKM) serta Asosiasi diberi kewenangan melakukan verifikasi dan validasi (VVA) keabsahan data anggotanya telah berjalan dengan baik walapun menghadapi tantangan dan kendala, hal ini tercermin dari sebelumnya ada 182.800 BUJK, kemudian bergerak menuju jumlah proporsional idealnya menjadi 117.000 BUJK. Sehingga pengembalian kewenangan sertifikasi kepada Asosiasi “terakreditasi” akan mengembalikan ambruknya akuntabilitas SBU/SKA/SKTK, dan akan mendorong tumbuhkembangnya jumlah Asosiasi, juga mengambil alih “Peran Sertifikasi/Registrasi“ kepada pemerintah/ad hoc/independen dsbnya” bukanlah tujuan pokok DPR menginisiasi RUU Jasa Konstruksi, karena hal ini sama dengan melikuidasi Lembaga yang sudah 16 tahun berperan dalam kehidupan  Jasa Konstruksi Indonesia tanpa di biayai pemerintah dan telah memiliki Sumber Daya Manusia yang sangat besar. Sebagai catatan : Sertifikasi adalah Sarana Pengikat absolut terhadap pembinaan secara proposional.
5. Hendaknya perubahan UU Jasa Konstruksi dengan tegas menyatakan bila terjadi sengketa kontrak konstruksi terdapat batasan antara ranah perdata dan ranah pidana yang memberikan perlindungan kepada pelaku Jasa Konstruksi dari tindakan “kriminalisasi”, dimana pengaduan “masyarakat” tidak dapat dijadikan “alasan” tindaklanjut bila tidak disertai indentitas yang syah dan adanya indikasi tindak pidana, oleh karenanya perlindungan terhadap pelaku Jasa Konstruksi seharusnya diatur dalam BAB khusus, supaya pengaturannya lebih detail, mengingat pelaku Jasa Konstruksi juga adalah aset nasional.

Medan, 12 April 2016
Ir. Robertman Sirait