Tuesday, May 28, 2013

Masukan, Kritik dan Saran-Pendapat


d.3  Masukan, Kritik, dan Saran-Pendapat:

MASUKAN:

1. Menurut Komisi V DPR RI, domain pengelolaan sektor konstruksi di Indonesia tidak cukup secara eksplisit hanya terkait dengan jasa konstruksi sebagaimana disebutkan dalam UU No. 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi: sebuah domain bernama pekerjaan umum dan lebih spesifik Kementerian Pekerjaan Umum, sebagai pengelola sektor konstruksi di Indonesia. Padahal ranah tugas pokok dan fungsi kementerian ini adalah penyelenggaraan infrastruktur binamarga, ciptakarya, sumberdaya air, serta penataan ruang. Pengelolaan sektor konstruksi jauh melampaui pengelolaan infrastruktur yang bersifat ke-PU-an, karena berkaitan dengan dimensi usaha (industri konstruksi) dan pengusahaan (tata niaga) dengan modalitas kapital, teknologi, sumber daya manusia, dan model-model usaha, pasar, akses pasar, transaksi, dan pejaminan kualitas sebagai akuntabilitas publik dari aktifitas konstruksi.

Hal-hal tersebut diatas menjadi bagian penting sebagai masukan dari Tim Pengkajian Gapeksindo agar perubahan UU RI tentang Jasa Konstruksi didalami oleh banyak pihak yang berkompeten. Ini bisa menyangkut masukan dari inter disipliner dan masukan dari beberapa kementerian.

  1. Kebijakan politik dari UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juga memiliki implikasi terhadap pengelolaan sektor konstruksi di daerah. Pemerintah Daerah melalui peraturan daerah akan berpeluang mengembangkan sistem hukum pengelolaan sektor konstruksi berbasis kepentingan daerah. APBD besar dan investasi luar negeri melalui Foreign Direct Investment (FDI) di daerah, menyebabkan pertumbuhan konstruksi untuk penyediaan infrastruktur dan bangunan-bangunan lain pada masing-masing daerah, dan memacu pertumbuhan bisnis konstruksi bagi masyarakat di daerah yang bersangkutan. Rentetannya adalah pada kualitas dan kuantitas dari sumber daya manusia yang terlibat pada jasa konstrusksi di daerah tersebut. Tidak adanya kewajiban pengembangan sumber daya manusia oleh pemerintah daerah yang termaktub dalam UU No. 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, perlu diperbaharui. Pada RUU RI tentang Jasa Konstruksi: pemerintah daerah menjadi wajib melaksanakan pembinaan, pengembangan sumber daya manusia, serta pendidikan dan pelatihan jasa konstruksi pada daerahnya masing-masing (Pasal 4 dan Pasal 7), tapi belum terasa tajam rinciannya.

Dibutuhkan UU RI tentang Jasa Konstruksi yang dapat memaksa adanya kepastian pelatihan SDM, kepastian pembiayaan untuk penelitian dan pengembangan teknologi. Begitu juga dengan perlindungan atas hak intelektual tenaga terampil atau tenaga ahli. Hal yang terakhir ini belum termuat pada RUU RI tentang Jasa Konstruksi.

KRITIK:

Kritik terhadap UU RI No. 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi:

1.     Kritik utama dari UU Republik Indonesia No. 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi adalah permasalahan Lembaga (red: LPJK) yang saat ini memiliki dualisme keberadaannya di tingkat nasional maupun di tingkat propinsi. Akreditasi asosiasi di bidang jasa konstruksi, sertifikasi badan usaha, dan sertifikasi kompetensi kerja dapat dilaksanakan oleh kedua lembaga yang ada, sehingga tidak menentu nilai normanya. Kita ingat bahwa dulu juga terdapat dua lembaga (LPJK dan LJKI) yang dalam perjalanannya berujung pada perebutan pengakuan di pengadilan hingga ke Mahkamah Agung, persis klaim yang saling bergantian dari kedua LPJK yang ada pada saat ini. Lembaga yang juga diserahkan tugas pengembangan dan pembinaaan jasa konstruksi, namun secara administrasi dan pembiayaan serta pertanggungjawabannya dirasakan sangat minim. 

Sementara pada RUU RI tentang Jasa Konstruksi yang kini disodorkan oleh Komisi V DPR RI, fungsi akreditasi asosiasi di bidang jasa konstruksi, sertifikasi badan usaha, dan sertifikasi kompetensi kerja, berpindah tangan kepada Badan Akreditasi dan Sertifikasi Jasa Konstruksi, sehingga polemik dualisme keberadaan LPJK yang ada pada saat ini bermaksud dipangkas. UUD 1945 pada pasal 28J ayat 2 menyebutkan bahwa:
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Badan Akreditasi dan Sertifikasi Jasa konstruksi, menurut RUU RI tentang Jasa Konstruksi adalah lembaga tersendiri yang keberadaannya di tingkat nasional diangkat dan diberhentikan secara langsung oleh Presiden.

Keberadan lembaga untuk akreditasi dan sertifikasi jasa konstruksi yang baru ini, menjadi bagian terpisah dari LPJK, asosiasi, dan masyarakat jasa konstruksi, memang sangat mengejutkan idenya, karena patut diduga akan memperlemah otoritas dan kapasitas PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN LPJK; karena akreditasi dan sertifikasi adalah nyawa dari LPJK itu sendiri termasuk asosiasi, didalam upaya pengembangan dan pembinaan (pemaksaan).

Tim Pengkajian Gapeksindo berpendapat bahwa inisiatif Komisi V DPR RI ingin memisahkan Badan Akreditasi dan Sertifikasi Jasa Konstruksi, LPJK, asosiasi, dan masyarakat jasa konstruksi adalah kondisi anomali: menarik total keberadaan LPJK yang ada, bukan memberi jalan keluar. Dikatakan jalan keluar karena bisa saja kiprah LPJK yang ada diakui saja, yakni dalam RUU dinyatakan bahwa LPJK ditetapkan dan dilantik oleh Kementerian Pekerjaan Umum. Patut diduga pasal-pasal mengenai Badan Akreditasi dan Sertifikasi Jasa Konstruksi ini adalah sebuah produk Panic Regulation; meminjam istilah pakar hukum di Indonesia, Prof. Dr. Muladi SH., mantan menteri kehakiman kita di tahun 1998. Sebuah regulasi yang dibuat secara panik dalam menghadapi masalah lembaga. Tapi bila Komisi V DPR RI tetap bersikukuh bahwa lembaga untuk akreditasi dan sertifikasi jasa konstruksi adalah seperti apa yang tertuang dalam draft RUU yang ada, maka dikhawatirkan akan mengalami penolakan oleh segenap stakeholder masyarakat jasa konstruksi. *lihat contoh kasus pembentukan USBU LPJKN 2011 yang sampai dengan hari ini belum berjalan sebagaimana mestinya.

2.    Hal yang sangat relevan terhadap keberadaan UU No. 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi adalah adanya perbedaan konteks di tahun 2013 ini dengan tahun 1999, yakni perkembangan yang semakin luas dari desentralisasi pemerintahan yang sepatutnya memberi kontribusi kepada pembinaan jasa konstruksi. Pada perundangan yang lama, pemerintah daerah yang kini menonjol perannya sebagai agen perubahan lokal, belum mendapat kewajiban atas pengembangan dan pembinaan jasa konstruksi (Pasal 35 ayat 6). Berbeda halnya pada RUU RI tentang Jasa Konstruksi, hal ini telah menjadi kewajiban Pemerintah Daerah (Pasal 4 dan Pasal 7) dan seperti apa yang tertuang pada Pasal 28C dari UUD 1945. Mekanisme pendanaan untuk kegiatan pembinaan jasa konstruksi yang dilakukan oleh pemerintah daerah misalnya, tersedia pada Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (PKPD) pada Pasal 87 hingga Pasal 93, terutama pada Pasal 88 (Dana Dekosentrasi). Pada Pasal 18 UUD 1945 ayat 6 disebutkan: Pemerintah Daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.

RUU Jasa Konstruksi ini harus secara pasti memaksa adanya kepastian pelatihan SDM pada masing-masing daerah, dan adanya kepastian pembiayaan untuk penelitian dan pengembangan teknologi. Begitu juga dengan perlindungan atas hak intelektual tenaga terampil atau tenaga ahli. Ini belum termuat pada RUU RI tentang Jasa Konstruksi.
                                           
3.    Pada Undang-Undang No. 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, bila dikritisi lebih lanjut adalah masalah pada kegagalan bangunan atau kegagalan pelaksanaan pekerjaan konstruksi, yang sesungguhnya dapat dimulai sejak perencanaan. Kelemahan pada Pasal 36 dan 37 adalah bahwa kegagalan bangunan, sengketa kontrak konstruksi, dan masalah yang timbul pada saat penyelenggaraan pekerjaan konstruksi, dibebankan tugas/pendapatnya kepada Pihak Ketiga atau Penilai Ahli (pasal 25 ayat 3) yang ditunjuk oleh pemerintah atau masyarakat. Penunjukan oleh pemerintah ini atau oleh masyarakat (Pasal 37 ayat 2 dan 3) yang menjadi titik kelemahannya. Tugas Penilai Ahli juga sama sekali tidak dijelaskan. Kelemahan lain adalah tidak tersedianya penyelesaian masalah melalui pola mediasi dan atau arbitrasi. Dalam kaitan kasus runtuhnya Jembatan di Kutai Kertanegara – Kalimantan Timur misalnya, yang menjadi bahan rujukan revisi UU, menurut pendapat salah seorang Anggota Komisi V DPR RI yang berkunjung ke Sumatera Barat baru-baru ini: “Kasus itu mengambang dan tidak jelas muaranya.”

Berbeda halnya dengan Draft RUU RI tentang Jasa Konstruksi yang menjelaskan peran Penilai Ahli (Pasal 44 ayat 2) dalam persoalan kegagalan bangunan atau kegagalan pekerjaan konstruksi. Penilai Ahli secara jelas ditetapkan oleh Lembaga (Pasal 44 ayat 3) dan memiliki sertifikat. Tugas penilai ahli juga dirinci secara jelas pada Pasal 45 dan Pasal 46. Penyelesaian sengketa melalui pola mediasi dan atau arbitrase juga dijelaskan pada Pasal 72 ayat 3. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa persoalan kegagalan bangunan, sengketa kontrak konstruksi, dan kegagalan pekerjaan konstruksi secara lebih lengkap terangkum pada Draft RUU RI tentang Jasa Konstruksi. Hanya Tim Pengkaji Gapeksindo menyarankan bahwa istilah Penilai Ahli dalam RUU Jasa Konstruksi ini harus disinkronkan dahulu penamaannya dengan istilah Saksi Ahli yang termuat dalam KUHP.

Kritik terhadap Draft RUU RI tentang Jasa Konstruksi:

1.     Pada masa krisis ekonomi 1998, terjadi stagnasi pembangunan nasional hingga tahun 2006 oleh sejumlah permasalahan negara yang ada. Ketika masalah tersebut dapat kita atasi, disadari bahwa pembangunan di negara kita mengalami kontraksi kompetisi pada bidang infrastruktur dan pembangunan fisik lainnya, baik pada tingkat dunia dan secara khusus di asia tenggara. Oleh karena itu sejak 2008 hingga sekarang pembangunan menjadi menggeliat, pelaku usaha di negara kita bersemangat untuk membangun infrastruktur dalam berbagai bentuk dan jenis bangunan; bersumber dana pemerintah, swasta, dan masyarakat. Namun, kondisi tersebut tidak lantas mendatangkan untung bagi pelaku konstruksi dalam negeri. Pasalnya pasar jasa konstruksi yang baru berkembang sejak beberapa tahun terakhir belum mampu menghasilkan keuntungan finansial yang memadai bagi penyedia jasa konstruksi.

Masalah yang paling krusial yakni tingginya suku bunga bagi kontraktor di tanah air yang jauh jika dibandingkan dengan negara lainnya. Bayangkan saja suku bunga untuk kontraktor di Indonesia mencapai 12,5% hingga 17,5% sedangkan di Singapura atau Malaysia hanya 3% hingga 4%. Modal menjadi masalah pokok. Hal ini membuka peluang bagi kontraktor asing untuk bergerilya ke dalam negeri mengingat potensi pasar yang sangat tinggi. Mereka membawa investasi yang tidak sedikit. Mau tidak mau kita harus menerima kontraktor yang dibawa oleh para investor yang masuk ke Indonesia, atau karena mereka terinisiasi oleh membaiknya ekonomi di negara kita. Umumnya perkembangan jasa konstruksi di negara lain sudah mulai menurun. Walau pada draft RUU Jasa Konstruksi telah mensyaratkan dasar operasional perusahaan asing di Indonesia (Pasal 27 dan Pasal 55), tapi bila kita tidak membenahi diri, maka hal tersebut lama kelamaan akan menjadi ancaman serius bagi kita semua.

Karena itu kita harapkan perbankan nasional dapat memberikan suku bunga yang rendah bagi kontraktor lokal agar dapat memperkuat kapasitas/kemampuan, guna bersaing dengan kontraktor asing. Atau, dalam kerangka permberdayaan dan pengembangan usaha jasa konstruksi, ketentuan sumber pendanaan dan perasuransian dapat diatur secara tersendiri, termasuk dengan mendirikan Bank Konstruksi atau mendirikan lembaga pendanaan konstruksi non bank. Pada Pasal 9 butir a dari Draft RUU Jasa Konstruksi terbaru disebutkan mengenai akses sumber dana perbankan, tetapi tidak memiliki konstruksi yang kokoh secara realita dalam permasalah pembiayaan jasa/industri konstruksi di negara kita. Pasal 9 dari Draft RUU Jasa Konstruksi terbaru menjadi literatur yang tidak berguna bagi reformasi permodalan penyedia jasa konstruksi Indonesia, apalagi bila mengingat adanya kartel suku bunga perbankan nasional. Oleh karenanya RUU Jasa Konstruksi yang ada dirasakan tidak memperbaiki keadaan di atas.

2.     Jasa konstruksi di Indonesia juga berada pada berbagai persoalan, seperti terjadinya distorsi nilai antara struktur pasar dengan jumlah penyedia jasa konstruksi. Jumlah penyedia jasa konstruksi kualifikasi kecil dan menengah di Indonesia lebih dari 90% dan sisanya adalah kelompok dengan kualifikasi besar. Sementara itu pangsa pasar jasa konstruksi untuk kualifikasi kecil dan menengah hanya 60% sedangkan untuk kualifikasi besar adalah 40%. Hal ini tentu menjadi persoalan bagi penyedia jasa kecil dan menengah. Kontekstual dengan keadaan di atas, dalam Draft RUU tentang Jasa Konstruksi ini perlu mengatur agar BUMN di bidang Jasa Konstruksi didorong untuk lebih mampu bersaing di pasar internasional dan atau setidaknya tidak lagi mengikuti pelelangan dan atau mengerjakan pekerjaan di bawah pagu anggaran Rp. 50 Milyar. Pagu ini adalah pagu untuk usaha menengah ke bawah yang seharusnya tidak boleh dimasuki oleh perusahaan BUMN di bidang jasa konstruksi. RUU Jasa konstruksi belum mampu memecahkan masalah ini.

Dilain pihak, kualifikasi penyedia jasa konstruksi kecil dan menengah di daerah juga belum mendapat keberpihakan. Sudah sejak lama menjadi topik pembicaraan banyak pengusaha di daerah untuk adanya pembatasan wilayah atas kualifikasi usaha kecil dan menengah, sehingga nilai paket untuk kualifikasi usaha kecil dan menegah hanya bisa diikuti oleh perserta dari provinsi masing-masing.

Proses penyediaan jasa dan kontrak untuk kualifikasi menengah dan kecil juga belum diatur agar tidak dapat diikuti/dimiliki oleh penyedia jasa dengan kualifikasi besar. Hal ini belum tercantum dalam RUU Jasa Konstruksi, menunjukkan sebagian bukti bahwa penyusun RUU Jasa Konstruksi tidak pernah berbicara secara luas dengan para stakeholders di daerah. Forum Group Discussion yang dilaksanakan di 3 (tiga) propinsi tidak merupakan representasi keseluruhan propinsi

Berikut ini adalah persoalan-persoalan lain yang secara umum dihadapi oleh lebih 90% penyedia jasa di Indonesia:
·     Ketidakpastian Hukum Usaha
·     Kapabilitas Perusahaan terbatas
·     Kerjasama yang lemah antar pelaku usaha
·     KKN dan Broker Proyek
·     Pertumbuhan Usaha Rendah
·     Daya saing usaha rendah
·     Iklim Kompetisi Usaha tidak sehat
·     Manajemen Bisnis Usaha lemah
·     Kompetensi SDM tidak memadai
·     Mutu Produk dan Proses rendah
·     Kualitas pekerjaan rendah
·     Modal Usaha lemah
·     Keuntungan Usaha Kecil
·     Teknologi Konstruksi tidak mutakhir
·     Fokus kepada Proyek Pemerintah
·     Dominasi Perusahaan Asing masih terasa kuat
·     Biaya transaksi usaha dirasakan besar
·     Informasi Proyek tidak terbuka luas, dan berbagai persoalan lainnya.
Sehingga apa-apa yang tertuang dalam Draft RUU RI tentang Jasa Konstruksi tersebut sangatlah lemah untuk bisa mengatasi persoalan-persoalan yang telah disebutkan di atas.

3.    Pada Pasal 18 ayat 1 disebutkan:
Kualifikasi usaha orang perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 terdiri atas:
a.   Usaha kecil; dan
b.  Usaha menengah.

Pada Pasal 19 ayat 1 disebutkan:
Usaha orang perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 hanya dapat menyelenggarakan pekerjaan konstruksi yang:
a.   Beresiko kecil;
b.   Berteknologi sederhana; dan
c.   Berbiaya kecil

Bila kita lihat Pasal 18 ayat 1 butir b dengan Pasal 19 ayat 1 c adalah sebuah kondisi yang saling bertentangan, sehingga RUU Jasa Konstruksi ini memiliki kesalahan philosofis mengenai kualifikasi usaha kecil.

4.     Pada Pasal 30 ayat 4 disebutkan:
Pemilihan penyedia jasa harus mempertimbangkan:
a.   Kesesuaian bidang;
b.  Keseimbangan antara kemampuan dan beban kerja; dan
c.   Kinerja penyedia jasa

Pada Pasal 24 disebutkan:
Izin usaha hanya diberikan kepada usaha orang perseorangan atau badan usaha yang telah memiliki sertifikat sesuai dengan klasifikasi dan kualifikasi usaha serta telah terregistrasi.

Pada kedua pasal di atas dan banyak pasal lainnya pada RUU Jasa Konstruksi ini, belum terlihat secara jelas bahwa pada proses pemilihan penyedia jasa harus mensyaratkan klasifikasi dan kualifikasi. Hingga Pasal 30 ayat 4 diatas diusulkan menjadi:
Pemilihan penyedia jasa harus mempertimbangkan:
a.   Kesesuaian bidang;
b.  Kesesuaian klasifikasi dan kualifikasi;
c.   Keseimbangan antara kemampuan dan beban kerja; dan
d.  Kinerja penyedia jasa

5.      Pada Pasal 31 disebutkan:
Pengguna jasa dilarang memberikan pekerjaan konstruksi untuk pembangunan kepentingan umum kepada penyedia jasa yang terafiliasi tanpa melalui pelelangan umum atau pelelangan terbatas.
Deskripsi dari terafiliasi tidak diterangkan secara jelas dalam RUU ini.

6.      Pada Pasal 43 Ayat (2) disebutkan:
Standar keselamatan konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.   keteknikan, meliputi persyaratan keselamatan umum, konstruksi bangunan, kondisi geografis yang rawan gempa, mutu hasil pekerjaan, mutu bahan dan atau komponen bangunan, dan mutu peralatan sesuai dengan ketentuan standar atau norma;
b.  .... dst

Diusulkan menjadi:
Standar keselamatan konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.   keteknikan, meliputi persyaratan keselamatan umum, konstruksi bangunan, kondisi geografis/geologis yang rawan gempa, mutu hasil pekerjaan, mutu bahan dan atau komponen bangunan, dan mutu peralatan sesuai dengan ketentuan standar atau norma;
b.  .... dst

7.      Pada Pasal 51 ayat 2 disebutkan:
Sumber daya manusia di bidang jasa konstruksi terdiri atas kualifikasi dalam jenjang:
a.   jabatan operator;
b.  jabatan teknisi atau analis; dan
c.   jabatan ahli

Diusulkan menjadi:
Sumber daya manusia di bidang jasa konstruksi terdiri atas kualifikasi dalam jenjang:
a.   jabatan tenaga terampil atau operator;
b.  jabatan teknisi atau analis; dan
c.   jabatan ahli

8.   Pada Pasal 61 Ayat (1) disebutkan:
Penyelenggaraan sertifikasi kompetensi kerja dan sertifikasi badan usaha di bidang jasa konstruksi dilakukan oleh Badan Akreditasi dan Sertifikasi Jasa Konstruksi Nasional yang dibentuk oleh pemerintah.

Diusulkan menjadi:
Penyelenggaraan sertifikasi kompetensi kerja dan sertifikasi badan usaha di bidang jasa konstruksi dilakukan oleh Badan Akreditasi dan Sertifikasi Jasa Konstruksi Nasional yang dibentuk oleh lembaga.

9.     Pada Pasal 62 Ayat (2) disebutkan:
Anggota Badan Akreditasi dan Sertifikasi Jasa Konstruksi Nasional diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat

Diusulkan pasal 62 ayat (2) dihapus.

10.   Pada RUU Jasa Konstruksi belum secara jelas mengatur struktur biaya konstruksi yang mengakomodasi biaya upah tenaga ahli yang dimintakan saat pelelangan, termasuk biaya K3, dan biaya pemenuhan ketentuan tentang lingkungan hidup. Hal ini terkait dengan pasal 92 mengenai standar keselamatan konstruksi.

SARAN-PENDAPAT:

Berdasarkan hasil kajian Tim Gapeksindo yang telah diuraikan di atas, dapat dikatakan bahwa Tim Pengkaji Gapeksindo tidak menerima perubahan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Jasa Konstruksi yang kami telaah di atas.

Menurut kami, RUU yang ada belum menyentuh substansi mendasar atas persoalan yang ada pada sektor jasa konstruksi. Inisialisasinya adalah tidak adanya desakan dari segenap stakeholder masyarakat jasa konstruksi untuk melakukan perubahan UU No. 18 tahun 1999. Segenap stakeholders di bidang jasa konstruksi masih menganggap bahwa UU RI No.18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi yang ada masih dapat dipakai dan tidak ada hambatan berarti.

Di lain pihak, bila RUU Jasa Konstruksi terbaru dipaksakan untuk segera diberlakukan, kami memberi usul saran beberapa perbaikan seperti apa yang telah kami uraikan di atas. Dan dari Tim Kajian Gapeksindo juga menambah saran berikut:
1.     Saran utama yang dimintakan adalah Undang-Undang RI tentang jasa Konstruksi terbaru mencantumkan secara jelas hubungan linier-langsung antara badan usaha, asosasi, lembaga, dan badan sertifikasi dalam multi sektor antara lain dalam pembinaan, pengembangan dan sertifikasi. Lihat sketsa 1 dan sketsa 2 pada halaman berikut.

Hal demikian disebabkan sejak tahun 1966 (hampir 50 tahun yang lalu), asosiasi telah melakukan tugas perbantuan dalam pembuatan Sertifikat Badan Usaha dan sejak tahun 2000 juga telah mengemban tugas perbantuan dalam sertifikasi tenaga ahli dan tenaga terampil. Peran menonjol asosiasi yang dengan kekuatan dananya sendiri sejak tahun 1966 itu, yang berhubungan dengan sertifikasi dan secara rutin melakukan pelatihan-pelatihan teknik dan manajemen konstruksi, sudah sangat tidak terhitung nilainya. Belum lagi sumber daya manusia terdidik yang kini dimiliki oleh masing-masing asosiasi di seluruh provinsi di Indonesia dalam hal perbantuan teknis Sertifikasi Badan Usaha dan Kompetensi Sumber Daya Manusia di bidang jasa konstruksi.

Dahulu, asosiasi perusahaan jasa konstruksi terbentuk secara nasional tatkala dunia konstruksi di Indonesia masih didominasi oleh kontraktor-kontraktor Belanda, antara lain, HBM (hollansche beton maatchappij), NEDAM, VOLKER dan lain-lain. Sedang kontraktor nasional yang biasa disebut aanemers masih tergolong pengusaha lemah serta belum tergabung dalam suatu wadah organisasi yang berskala nasional. Berkenaan dengan rencana pemerintah untuk mulai membangun proyek-proyek besar seperti industri baja di Kota Cilegon – Banten, stadion untuk Asian Games di DKI Jakarta, pabrik semen Gresik dan Tonasa, pabrik pupuk di Cilacap – Jawa Tengah, serta bendungan Karang Kates, maka atas prakarsa Menteri Pekerjaan Umum dan Force Ir. Pangeran Noor beserta tiga organisasi pemborong bangunan daerah, yakni : IPEMBI (Ikatan Pemborong Indonesia) dari Jakarta, IABN (Ikatan Ahli Bangunan Indonesia) dari Surabaya, dan GPI (Gabungan Pemborong Indonesia) dari Bandung, maka diselenggarakanlah Kongres Pemborong Seluruh Indonesia (KPSI) pada tanggal 5 hingga 9 Januari 1959 di Bath Hotel, Tretes, Jawa Timur, yang dihadiri oleh 160 peserta dari seluruh Indonesia.

Salah satu hasil kongres menetapkan bahwa terhitung sejak tanggal 8 Januari 1959 berdirilah asosiasi perusahaan jasa konstruksi pertama di Indonesia yang kemudian secara pasti memiliki perwakilan hampir di seluruh provinsi di Indonesia. Munculnya nama Ir. Rooseno di panggung organisasi ini pada tanggal 17 Maret 1966, telah membawa angin segar bagi ribuan pengusaha kontraktor nasional. Di bawah kepemimpinannya yang telah berjalan dalam kurun waktu 25 tahun, Guru besar dalam ilmu teknik sipil alumnus ITB Bandung itu, berhasil mengembangkan organisasi sedemikian rupa hingga di setiap daerah provinsi berdiri kepengurusan dan juga menghasilkan kepengurusan asoasiasi di 298 cabang di kabupaten/kota, serta memiliki anggota sebanyak 37.000 pengusaha kontraktor di seluruh Indonesia pada tahun 1995 (170.000 pada tahun 2012). Kini, dengan rentang waktu hampir 50 tahun itulah peran asosiasi dalam dunia jasa konstruksi nasional memperlihatkan karya nyata masyarakat jasa konstruksi nasional bagi bangsa dan negara.

2.     Berdasarkan apa yang telah tertuang di atas, maka Tim Pengkajian Gapeksindo memberi saran agar DPP Gapeksindo melakukan rapat atau musyawarah sesuai kewenangan organisasi, untuk kemudian secara resmi memberi masukan kepada Komisi V DPR RI, pemerintah, dan pihak-pihak lain:
2.1   Tetap menggunakan UU No. 18 tahun 1999 sebagai landas pijak jasa konstruksi di Indonesia.
2.2   Meninjau kembali dalam berbagai aspek strategis segenap batang tubuh RUU Jasa Konstruksi tahun 2013 berdasarkan gap analysis.

Dibuat di:  Jakarta
Pada Tanggal: 30 Maret 2013

TIM PENGKAJIAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG JASA KONSTRUKSI GAPEKSINDO:

1.   Ir. John Chaidir                              : ……………………………………………
2.   Ir. Robertman Sirait                         : ……………………………………………
3.   Yudo Handoko, S.H.                         : ……………………………………………
4.   Ir. Sunarto Djojosoedarmo, MM         : ……………………………………………
5.   Sumarsono, BE, ST                          : ……………………………………………
6.   Ir. H. Soetrisno                               : ……………………………………………