d.3 Masukan,
Kritik, dan Saran-Pendapat:
MASUKAN:
1. Menurut Komisi V DPR RI, domain pengelolaan sektor konstruksi
di Indonesia tidak cukup secara eksplisit hanya terkait dengan jasa konstruksi
sebagaimana disebutkan dalam UU No. 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi: sebuah
domain bernama pekerjaan
umum dan lebih spesifik Kementerian Pekerjaan Umum, sebagai pengelola sektor konstruksi di Indonesia. Padahal ranah
tugas pokok dan fungsi kementerian ini adalah penyelenggaraan infrastruktur binamarga,
ciptakarya, sumberdaya air, serta penataan ruang. Pengelolaan sektor konstruksi
jauh melampaui pengelolaan infrastruktur yang bersifat ke-PU-an, karena
berkaitan dengan dimensi usaha (industri konstruksi) dan pengusahaan (tata niaga)
dengan modalitas kapital, teknologi, sumber daya manusia, dan model-model
usaha, pasar, akses pasar, transaksi, dan pejaminan kualitas sebagai
akuntabilitas publik dari aktifitas konstruksi.
Hal-hal tersebut diatas menjadi bagian penting sebagai masukan
dari Tim Pengkajian Gapeksindo agar perubahan UU RI tentang Jasa Konstruksi
didalami oleh banyak pihak yang berkompeten. Ini bisa menyangkut masukan dari
inter disipliner dan masukan dari beberapa kementerian.
- Kebijakan
politik dari UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juga
memiliki implikasi terhadap pengelolaan sektor konstruksi di daerah.
Pemerintah Daerah melalui peraturan daerah akan berpeluang mengembangkan sistem hukum pengelolaan
sektor konstruksi berbasis kepentingan daerah. APBD besar dan investasi
luar negeri melalui Foreign Direct Investment (FDI) di daerah, menyebabkan
pertumbuhan konstruksi untuk penyediaan infrastruktur dan
bangunan-bangunan lain pada masing-masing daerah, dan memacu pertumbuhan
bisnis konstruksi bagi masyarakat di daerah yang bersangkutan. Rentetannya
adalah pada kualitas dan kuantitas dari sumber daya manusia yang terlibat
pada jasa konstrusksi di daerah tersebut. Tidak adanya kewajiban pengembangan
sumber daya manusia oleh pemerintah daerah yang termaktub dalam UU No. 18
tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, perlu diperbaharui. Pada RUU RI
tentang Jasa Konstruksi: pemerintah daerah menjadi wajib melaksanakan
pembinaan, pengembangan sumber daya manusia, serta pendidikan dan
pelatihan jasa konstruksi pada daerahnya masing-masing (Pasal 4 dan Pasal 7),
tapi belum terasa tajam rinciannya.
Dibutuhkan UU RI tentang Jasa
Konstruksi yang dapat memaksa adanya kepastian pelatihan SDM, kepastian pembiayaan
untuk penelitian dan pengembangan teknologi. Begitu juga dengan perlindungan
atas hak intelektual tenaga terampil atau tenaga ahli. Hal yang terakhir ini
belum termuat pada RUU RI tentang Jasa Konstruksi.
KRITIK:
Kritik terhadap UU RI No. 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi:
1.
Kritik utama dari UU Republik
Indonesia No. 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi adalah permasalahan Lembaga
(red: LPJK) yang saat ini memiliki dualisme keberadaannya di tingkat nasional
maupun di tingkat propinsi. Akreditasi asosiasi di bidang jasa konstruksi, sertifikasi
badan usaha, dan sertifikasi kompetensi kerja dapat dilaksanakan oleh kedua
lembaga yang ada, sehingga tidak menentu nilai normanya. Kita ingat bahwa dulu
juga terdapat dua lembaga (LPJK dan LJKI) yang dalam perjalanannya berujung pada
perebutan pengakuan di pengadilan hingga ke Mahkamah
Agung, persis klaim yang saling bergantian dari kedua LPJK yang ada pada saat
ini. Lembaga yang juga diserahkan tugas pengembangan dan pembinaaan jasa
konstruksi, namun secara administrasi dan pembiayaan
serta pertanggungjawabannya dirasakan sangat minim.
Sementara pada RUU RI
tentang Jasa Konstruksi yang kini disodorkan oleh Komisi V DPR RI, fungsi akreditasi
asosiasi di bidang jasa konstruksi, sertifikasi badan usaha, dan sertifikasi
kompetensi kerja, berpindah tangan kepada Badan Akreditasi dan Sertifikasi Jasa
Konstruksi, sehingga polemik dualisme keberadaan LPJK yang ada pada saat ini bermaksud
dipangkas. UUD 1945 pada pasal 28J ayat 2 menyebutkan bahwa:
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan
orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan
moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis.
Badan Akreditasi dan
Sertifikasi Jasa konstruksi, menurut RUU RI tentang Jasa Konstruksi adalah
lembaga tersendiri yang keberadaannya di tingkat nasional diangkat dan
diberhentikan secara langsung oleh Presiden.
Keberadan lembaga untuk
akreditasi dan sertifikasi jasa konstruksi yang baru ini, menjadi bagian terpisah dari
LPJK, asosiasi,
dan masyarakat jasa konstruksi, memang sangat mengejutkan
idenya, karena patut diduga akan memperlemah otoritas dan kapasitas PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN LPJK; karena akreditasi dan sertifikasi adalah “nyawa” dari LPJK itu sendiri termasuk asosiasi, didalam upaya pengembangan dan
pembinaan (pemaksaan).
Tim Pengkajian Gapeksindo berpendapat bahwa inisiatif Komisi V DPR RI ingin memisahkan Badan Akreditasi dan Sertifikasi Jasa
Konstruksi, LPJK, asosiasi, dan masyarakat jasa konstruksi adalah kondisi
anomali: menarik total keberadaan LPJK yang ada, bukan memberi jalan keluar.
Dikatakan jalan keluar karena bisa saja kiprah LPJK yang ada diakui saja, yakni
dalam RUU dinyatakan bahwa LPJK ditetapkan dan dilantik oleh Kementerian
Pekerjaan Umum. Patut diduga pasal-pasal mengenai Badan Akreditasi dan
Sertifikasi Jasa Konstruksi ini adalah sebuah produk Panic Regulation; meminjam
istilah pakar hukum di Indonesia, Prof. Dr. Muladi SH., mantan menteri
kehakiman kita di tahun 1998. Sebuah regulasi yang dibuat secara panik dalam
menghadapi masalah lembaga. Tapi bila Komisi V DPR RI tetap bersikukuh bahwa lembaga untuk
akreditasi dan sertifikasi jasa konstruksi adalah seperti apa yang tertuang
dalam draft RUU yang ada, maka dikhawatirkan akan
mengalami penolakan oleh segenap stakeholder
masyarakat jasa konstruksi. *lihat contoh
kasus pembentukan USBU LPJKN 2011 yang sampai dengan hari ini belum berjalan
sebagaimana mestinya.
2.
Hal yang sangat
relevan terhadap keberadaan UU No. 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi adalah
adanya perbedaan konteks di tahun 2013 ini dengan tahun 1999, yakni
perkembangan yang semakin luas dari desentralisasi pemerintahan yang sepatutnya
memberi kontribusi kepada pembinaan jasa konstruksi. Pada perundangan yang
lama, pemerintah daerah yang kini menonjol perannya sebagai agen perubahan
lokal, belum mendapat kewajiban atas pengembangan dan pembinaan jasa konstruksi
(Pasal 35 ayat 6). Berbeda halnya pada RUU RI tentang Jasa Konstruksi, hal ini
telah menjadi kewajiban Pemerintah Daerah (Pasal 4 dan Pasal 7) dan seperti apa
yang tertuang pada Pasal 28C dari UUD 1945. Mekanisme pendanaan untuk kegiatan
pembinaan jasa konstruksi yang dilakukan oleh pemerintah daerah misalnya,
tersedia pada Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (PKPD) pada Pasal 87 hingga Pasal
93, terutama pada Pasal 88 (Dana Dekosentrasi). Pada Pasal 18 UUD 1945 ayat 6
disebutkan:
Pemerintah Daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan lain untuk
melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
RUU Jasa Konstruksi ini harus secara pasti memaksa adanya
kepastian pelatihan SDM pada masing-masing daerah, dan adanya kepastian
pembiayaan untuk penelitian dan pengembangan teknologi. Begitu juga dengan
perlindungan atas hak intelektual tenaga terampil atau tenaga ahli. Ini belum
termuat pada RUU RI tentang Jasa Konstruksi.
3. Pada Undang-Undang No. 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, bila
dikritisi lebih lanjut adalah masalah pada kegagalan bangunan atau kegagalan pelaksanaan
pekerjaan konstruksi, yang sesungguhnya dapat dimulai sejak perencanaan. Kelemahan pada Pasal 36 dan 37 adalah
bahwa kegagalan bangunan, sengketa kontrak konstruksi, dan masalah yang timbul
pada saat penyelenggaraan pekerjaan konstruksi, dibebankan tugas/pendapatnya kepada
Pihak Ketiga atau Penilai Ahli (pasal 25 ayat 3) yang ditunjuk oleh pemerintah
atau masyarakat. Penunjukan oleh pemerintah ini atau oleh masyarakat (Pasal 37
ayat 2 dan 3) yang menjadi titik kelemahannya. Tugas Penilai Ahli juga sama
sekali tidak dijelaskan. Kelemahan lain adalah tidak tersedianya penyelesaian
masalah melalui pola mediasi dan atau arbitrasi. Dalam kaitan kasus runtuhnya
Jembatan di Kutai Kertanegara – Kalimantan Timur misalnya, yang menjadi bahan
rujukan revisi UU, menurut pendapat salah seorang Anggota Komisi V DPR RI yang
berkunjung ke Sumatera Barat baru-baru ini: “Kasus itu mengambang dan tidak jelas
muaranya.”
Berbeda halnya dengan Draft RUU RI tentang Jasa Konstruksi yang
menjelaskan peran Penilai Ahli (Pasal 44 ayat 2) dalam persoalan kegagalan
bangunan atau kegagalan pekerjaan konstruksi. Penilai Ahli secara jelas
ditetapkan oleh Lembaga (Pasal 44 ayat 3) dan memiliki sertifikat. Tugas
penilai ahli juga dirinci secara jelas pada Pasal 45 dan Pasal 46. Penyelesaian
sengketa melalui pola mediasi dan atau arbitrase juga dijelaskan pada Pasal 72
ayat 3. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa persoalan kegagalan bangunan,
sengketa kontrak konstruksi, dan kegagalan pekerjaan konstruksi secara lebih
lengkap terangkum pada Draft RUU RI tentang Jasa Konstruksi. Hanya Tim Pengkaji Gapeksindo
menyarankan bahwa istilah Penilai Ahli dalam RUU Jasa Konstruksi ini harus
disinkronkan dahulu penamaannya dengan istilah Saksi Ahli yang termuat dalam
KUHP.
Kritik terhadap Draft RUU RI tentang Jasa Konstruksi:
1.
Pada masa
krisis ekonomi 1998, terjadi stagnasi pembangunan nasional hingga tahun 2006 oleh
sejumlah permasalahan negara yang ada. Ketika masalah tersebut dapat kita atasi,
disadari bahwa pembangunan di negara kita mengalami kontraksi kompetisi pada
bidang infrastruktur dan pembangunan fisik lainnya, baik pada tingkat dunia dan
secara khusus di asia tenggara. Oleh karena itu sejak 2008 hingga sekarang pembangunan
menjadi menggeliat, pelaku usaha di negara kita bersemangat untuk membangun
infrastruktur dalam berbagai bentuk dan jenis bangunan; bersumber dana
pemerintah, swasta, dan masyarakat. Namun, kondisi tersebut tidak lantas
mendatangkan untung bagi pelaku konstruksi dalam negeri. Pasalnya pasar jasa
konstruksi yang baru berkembang sejak beberapa tahun terakhir belum mampu
menghasilkan keuntungan finansial yang memadai bagi penyedia jasa konstruksi.
Masalah yang paling krusial yakni tingginya suku bunga bagi
kontraktor di tanah air yang jauh jika dibandingkan dengan negara lainnya. Bayangkan
saja suku bunga untuk kontraktor di Indonesia mencapai 12,5% hingga 17,5% sedangkan
di Singapura atau Malaysia hanya 3% hingga 4%. Modal menjadi masalah pokok. Hal
ini membuka peluang bagi kontraktor asing untuk bergerilya ke dalam negeri
mengingat potensi pasar yang sangat tinggi. Mereka membawa investasi yang tidak
sedikit. Mau tidak mau kita harus menerima kontraktor yang dibawa oleh para investor
yang masuk ke Indonesia, atau karena mereka terinisiasi oleh membaiknya ekonomi
di negara kita. Umumnya perkembangan jasa konstruksi di negara lain sudah mulai
menurun. Walau pada draft RUU Jasa Konstruksi telah mensyaratkan dasar operasional
perusahaan asing di Indonesia (Pasal 27 dan Pasal 55), tapi bila kita tidak
membenahi diri, maka hal tersebut lama kelamaan akan menjadi ancaman serius bagi
kita semua.
Karena itu kita harapkan perbankan nasional dapat memberikan suku
bunga yang rendah bagi kontraktor lokal agar dapat memperkuat kapasitas/kemampuan, guna bersaing dengan kontraktor asing. Atau, dalam kerangka
permberdayaan dan pengembangan usaha jasa konstruksi, ketentuan sumber
pendanaan dan perasuransian dapat diatur secara tersendiri, termasuk dengan
mendirikan Bank Konstruksi atau mendirikan lembaga pendanaan konstruksi non
bank. Pada Pasal 9 butir a dari Draft RUU Jasa Konstruksi terbaru disebutkan
mengenai akses sumber dana perbankan, tetapi tidak memiliki konstruksi yang
kokoh secara realita dalam permasalah pembiayaan jasa/industri konstruksi di
negara kita. Pasal
9 dari Draft RUU Jasa Konstruksi terbaru menjadi literatur yang tidak berguna
bagi reformasi permodalan penyedia jasa konstruksi Indonesia, apalagi bila
mengingat adanya kartel suku bunga perbankan nasional. Oleh karenanya RUU Jasa
Konstruksi yang ada dirasakan tidak memperbaiki keadaan di atas.
2.
Jasa konstruksi
di Indonesia juga berada pada berbagai persoalan, seperti terjadinya distorsi
nilai antara struktur pasar dengan jumlah penyedia jasa konstruksi. Jumlah
penyedia jasa konstruksi kualifikasi kecil dan menengah di Indonesia lebih dari
90% dan sisanya adalah kelompok dengan kualifikasi besar. Sementara itu pangsa
pasar jasa konstruksi untuk kualifikasi kecil dan menengah hanya 60% sedangkan untuk
kualifikasi besar adalah 40%. Hal ini tentu menjadi persoalan bagi penyedia
jasa kecil dan menengah. Kontekstual dengan keadaan di atas, dalam Draft RUU
tentang Jasa Konstruksi ini perlu mengatur agar BUMN di bidang Jasa Konstruksi didorong
untuk lebih mampu bersaing di pasar internasional dan atau setidaknya tidak
lagi mengikuti pelelangan dan atau mengerjakan pekerjaan di bawah pagu anggaran
Rp. 50 Milyar. Pagu ini adalah pagu untuk usaha menengah ke
bawah yang seharusnya tidak boleh dimasuki oleh perusahaan BUMN di bidang jasa
konstruksi. RUU Jasa konstruksi belum mampu memecahkan masalah ini.
Dilain pihak, kualifikasi penyedia jasa konstruksi kecil dan menengah di
daerah juga belum mendapat keberpihakan. Sudah sejak lama menjadi topik pembicaraan banyak pengusaha di
daerah untuk adanya pembatasan wilayah atas kualifikasi usaha kecil dan
menengah, sehingga nilai paket untuk kualifikasi usaha kecil dan menegah hanya
bisa diikuti oleh perserta dari provinsi masing-masing.
Proses penyediaan jasa dan kontrak untuk kualifikasi menengah dan
kecil juga belum diatur agar tidak dapat diikuti/dimiliki oleh penyedia jasa
dengan kualifikasi besar. Hal ini belum tercantum dalam RUU Jasa Konstruksi, menunjukkan sebagian
bukti bahwa penyusun RUU Jasa Konstruksi tidak pernah berbicara secara luas
dengan para stakeholders di daerah. Forum
Group Discussion yang dilaksanakan di 3 (tiga) propinsi tidak merupakan
representasi keseluruhan propinsi.
Berikut ini adalah persoalan-persoalan lain yang secara umum
dihadapi oleh lebih 90% penyedia jasa di Indonesia:
· Ketidakpastian Hukum Usaha
· Kapabilitas Perusahaan terbatas
· Kerjasama yang lemah antar pelaku usaha
· KKN dan Broker Proyek
· Pertumbuhan Usaha Rendah
· Daya saing usaha rendah
· Iklim Kompetisi Usaha tidak sehat
· Manajemen Bisnis Usaha lemah
· Kompetensi SDM tidak memadai
· Mutu Produk dan Proses rendah
· Kualitas pekerjaan rendah
· Modal Usaha lemah
· Keuntungan Usaha Kecil
· Teknologi Konstruksi tidak mutakhir
· Fokus kepada Proyek Pemerintah
· Dominasi Perusahaan Asing masih terasa kuat
· Biaya transaksi usaha dirasakan besar
· Informasi Proyek tidak terbuka luas, dan berbagai persoalan
lainnya.
Sehingga apa-apa yang tertuang dalam
Draft RUU RI tentang Jasa Konstruksi tersebut sangatlah lemah untuk bisa
mengatasi persoalan-persoalan yang telah disebutkan di atas.
3.
Pada Pasal 18
ayat 1 disebutkan:
Kualifikasi usaha orang perseorangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 terdiri atas:
a.
Usaha kecil;
dan
b. Usaha menengah.
Pada Pasal 19 ayat 1 disebutkan:
Usaha orang perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 hanya
dapat menyelenggarakan pekerjaan konstruksi yang:
a.
Beresiko kecil;
b.
Berteknologi
sederhana; dan
c.
Berbiaya kecil
Bila kita lihat Pasal 18 ayat 1 butir b dengan Pasal 19 ayat 1 c
adalah sebuah kondisi yang saling bertentangan, sehingga RUU Jasa Konstruksi
ini memiliki kesalahan philosofis mengenai kualifikasi usaha kecil.
4.
Pada Pasal 30
ayat 4 disebutkan:
Pemilihan penyedia jasa harus mempertimbangkan:
a. Kesesuaian bidang;
b. Keseimbangan antara kemampuan dan beban kerja; dan
c. Kinerja penyedia jasa
Pada Pasal 24 disebutkan:
Izin usaha hanya diberikan kepada usaha orang perseorangan atau
badan usaha yang telah memiliki sertifikat sesuai dengan klasifikasi dan
kualifikasi usaha serta telah terregistrasi.
Pada kedua pasal di atas dan banyak pasal lainnya pada RUU Jasa
Konstruksi ini, belum terlihat secara jelas bahwa pada proses pemilihan
penyedia jasa harus mensyaratkan klasifikasi dan kualifikasi. Hingga Pasal 30
ayat 4 diatas diusulkan menjadi:
Pemilihan penyedia jasa harus mempertimbangkan:
a. Kesesuaian bidang;
b. Kesesuaian klasifikasi dan kualifikasi;
c. Keseimbangan antara kemampuan dan beban kerja; dan
d. Kinerja penyedia jasa
5.
Pada Pasal 31 disebutkan:
Pengguna
jasa dilarang memberikan pekerjaan konstruksi untuk pembangunan kepentingan umum
kepada penyedia jasa yang terafiliasi tanpa melalui pelelangan umum
atau pelelangan terbatas.
Deskripsi
dari terafiliasi tidak diterangkan secara jelas dalam RUU ini.
6.
Pada Pasal 43 Ayat (2) disebutkan:
Standar keselamatan konstruksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.
keteknikan, meliputi persyaratan
keselamatan umum, konstruksi bangunan,
kondisi geografis yang rawan gempa, mutu hasil pekerjaan, mutu bahan dan atau
komponen bangunan, dan mutu
peralatan sesuai dengan ketentuan standar atau norma;
b.
.... dst
Diusulkan menjadi:
Standar keselamatan konstruksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.
keteknikan, meliputi persyaratan
keselamatan umum, konstruksi bangunan,
kondisi geografis/geologis yang rawan gempa, mutu hasil pekerjaan, mutu bahan dan atau
komponen bangunan, dan mutu
peralatan sesuai dengan ketentuan standar atau norma;
b.
.... dst
7.
Pada Pasal 51
ayat 2 disebutkan:
Sumber daya manusia di bidang jasa konstruksi terdiri atas
kualifikasi dalam jenjang:
a. jabatan operator;
b. jabatan teknisi atau analis; dan
c. jabatan ahli
Diusulkan menjadi:
Sumber daya manusia di bidang jasa konstruksi terdiri atas kualifikasi
dalam jenjang:
a. jabatan tenaga terampil atau operator;
b. jabatan teknisi atau analis; dan
c. jabatan ahli
8. Pada Pasal 61 Ayat (1) disebutkan:
Penyelenggaraan sertifikasi kompetensi kerja dan sertifikasi badan usaha di bidang jasa konstruksi dilakukan
oleh Badan Akreditasi dan
Sertifikasi Jasa Konstruksi Nasional yang dibentuk oleh pemerintah.
Diusulkan
menjadi:
Penyelenggaraan
sertifikasi kompetensi kerja
dan sertifikasi badan usaha
di bidang jasa konstruksi dilakukan oleh Badan Akreditasi dan Sertifikasi
Jasa Konstruksi Nasional yang dibentuk oleh lembaga.
9.
Pada Pasal 62 Ayat (2)
disebutkan:
Anggota Badan Akreditasi dan Sertifikasi Jasa Konstruksi Nasional diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden atas persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat
Diusulkan pasal 62 ayat (2) dihapus.
10.
Pada RUU Jasa
Konstruksi belum secara jelas mengatur struktur biaya konstruksi yang
mengakomodasi biaya upah tenaga ahli yang dimintakan saat pelelangan, termasuk
biaya K3, dan biaya pemenuhan ketentuan tentang lingkungan hidup. Hal ini terkait dengan pasal 92 mengenai
standar keselamatan konstruksi.
SARAN-PENDAPAT:
Berdasarkan hasil kajian
Tim Gapeksindo yang telah diuraikan di atas, dapat dikatakan bahwa Tim Pengkaji
Gapeksindo tidak menerima perubahan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Jasa
Konstruksi yang kami telaah di atas.
Menurut kami, RUU yang ada
belum menyentuh substansi mendasar atas
persoalan yang ada pada sektor jasa konstruksi. Inisialisasinya adalah
tidak adanya desakan dari segenap stakeholder
masyarakat jasa konstruksi untuk melakukan perubahan UU No. 18 tahun 1999. Segenap stakeholders di
bidang jasa konstruksi masih menganggap bahwa UU RI No.18 tahun 1999 tentang
Jasa Konstruksi yang ada masih dapat dipakai dan tidak ada hambatan berarti.
Di lain pihak, bila RUU
Jasa Konstruksi terbaru dipaksakan untuk segera diberlakukan,
kami memberi usul saran beberapa perbaikan seperti apa yang telah kami uraikan
di atas. Dan dari Tim Kajian Gapeksindo juga menambah saran berikut:
1. Saran utama yang dimintakan adalah Undang-Undang RI tentang jasa
Konstruksi terbaru mencantumkan secara jelas hubungan linier-langsung antara badan usaha, asosasi, lembaga, dan
badan sertifikasi dalam multi sektor antara lain dalam pembinaan, pengembangan
dan sertifikasi. Lihat sketsa 1 dan sketsa 2 pada
halaman berikut.
Hal demikian disebabkan
sejak tahun 1966 (hampir 50 tahun yang lalu), asosiasi telah melakukan tugas
perbantuan dalam pembuatan Sertifikat Badan Usaha dan sejak tahun 2000 juga
telah mengemban tugas perbantuan dalam sertifikasi tenaga ahli dan tenaga
terampil. Peran menonjol asosiasi yang dengan kekuatan dananya sendiri sejak
tahun 1966 itu, yang berhubungan dengan sertifikasi dan secara rutin melakukan
pelatihan-pelatihan teknik dan manajemen konstruksi, sudah sangat tidak
terhitung nilainya. Belum lagi sumber daya manusia terdidik yang kini dimiliki
oleh masing-masing asosiasi di seluruh provinsi di Indonesia dalam hal perbantuan
teknis Sertifikasi Badan Usaha dan Kompetensi Sumber Daya Manusia di bidang
jasa konstruksi.
Dahulu, asosiasi perusahaan jasa konstruksi terbentuk secara
nasional tatkala dunia konstruksi di Indonesia masih didominasi oleh kontraktor-kontraktor
Belanda, antara lain, HBM (hollansche beton maatchappij), NEDAM, VOLKER dan
lain-lain. Sedang kontraktor nasional yang biasa disebut aanemers masih
tergolong pengusaha lemah serta belum tergabung dalam suatu wadah organisasi
yang berskala nasional. Berkenaan dengan rencana pemerintah untuk mulai
membangun proyek-proyek besar seperti industri baja di Kota Cilegon – Banten,
stadion untuk Asian Games di DKI Jakarta, pabrik semen Gresik dan Tonasa,
pabrik pupuk di Cilacap – Jawa Tengah, serta bendungan Karang Kates, maka atas
prakarsa Menteri Pekerjaan Umum dan Force Ir. Pangeran Noor beserta tiga
organisasi pemborong bangunan daerah, yakni : IPEMBI (Ikatan Pemborong
Indonesia) dari Jakarta, IABN (Ikatan Ahli Bangunan Indonesia) dari Surabaya,
dan GPI (Gabungan Pemborong Indonesia) dari Bandung, maka diselenggarakanlah
Kongres Pemborong Seluruh Indonesia (KPSI) pada tanggal 5 hingga 9 Januari 1959
di Bath Hotel, Tretes, Jawa Timur, yang dihadiri oleh 160 peserta dari seluruh
Indonesia.
Salah satu hasil kongres menetapkan bahwa terhitung sejak tanggal
8 Januari 1959 berdirilah asosiasi perusahaan jasa konstruksi pertama di Indonesia
yang kemudian secara pasti memiliki perwakilan hampir di seluruh provinsi di
Indonesia. Munculnya nama Ir. Rooseno di panggung organisasi ini pada tanggal
17 Maret 1966, telah membawa angin segar bagi ribuan pengusaha kontraktor
nasional. Di bawah kepemimpinannya yang telah berjalan dalam kurun waktu 25
tahun, Guru besar dalam ilmu teknik sipil alumnus ITB Bandung itu, berhasil
mengembangkan organisasi sedemikian rupa hingga di setiap daerah provinsi
berdiri kepengurusan dan juga menghasilkan kepengurusan asoasiasi di 298 cabang
di kabupaten/kota, serta memiliki anggota sebanyak 37.000 pengusaha kontraktor
di seluruh Indonesia pada tahun 1995 (170.000 pada tahun 2012). Kini, dengan rentang waktu hampir 50 tahun itulah peran asosiasi
dalam dunia jasa konstruksi nasional memperlihatkan karya nyata masyarakat jasa konstruksi nasional bagi bangsa dan negara.
2. Berdasarkan apa yang telah tertuang di atas, maka Tim Pengkajian
Gapeksindo memberi saran agar DPP Gapeksindo melakukan rapat atau musyawarah
sesuai kewenangan organisasi, untuk kemudian secara resmi memberi masukan
kepada Komisi V DPR RI, pemerintah, dan pihak-pihak lain:
2.1
Tetap
menggunakan UU No. 18 tahun 1999 sebagai landas pijak jasa konstruksi di Indonesia.
2.2
Meninjau
kembali dalam berbagai aspek strategis segenap batang tubuh RUU Jasa Konstruksi
tahun 2013 berdasarkan gap analysis.
Dibuat di: Jakarta
Pada Tanggal: 30 Maret
2013
TIM PENGKAJIAN RANCANGAN
UNDANG-UNDANG JASA KONSTRUKSI GAPEKSINDO:
1. Ir. John Chaidir : ……………………………………………
2. Ir. Robertman Sirait : ……………………………………………
3. Yudo Handoko, S.H. : ……………………………………………
4. Ir. Sunarto Djojosoedarmo, MM : ……………………………………………
5. Sumarsono, BE, ST :
……………………………………………
6.
Ir. H.
Soetrisno :
……………………………………………