Berikut adalah matriks berbentuk tabel berisikan perbandingan
antara UU No. 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi dengan RUU RI tentang Jasa
Konstruksi tahun 2013.
NO
|
UU
NO. 18 tahun 1999
|
RUU
JAKON 2013
|
1
|
Ketentuan Umum:
Pasal 1
Dalam
Undang-undang ini yang dimaksud dengan
1.
jasa konstruksi adalah layanan jasa konsultansi perencanaan
pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan
layanan jasa konsultansi pengawasan pekerjaan konstruksi;
3.
pengguna jasa adalah orang perseorangan atau badan sebagai pemberi
tugas atau pemilik pekerjaan/proyek yang memerlukan layanan jasa
konstruksi;
|
Ketentuan Umum:
Pasal
1
Dalam
Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1.
Jasa konstruksi adalah layanan jasa pekerjaan konstruksi yang meliputi pengkajian, perencanaan, perancangan,
pembuatan, pengoperasian, pemeliha-raan,
penghancuran, pembuatan kemba-li, dan pengawasan.
3.
Pengguna jasa adalah pemberi atau pemilik pekerjaan konstruksi yang memerlukan layanan jasa konstruksi.
|
2
|
Azas:
Pasal 2
Pengaturan jasa
konstruksi berlandaskan pada asas kejujuran dan keadilan, manfaat,
keserasian, keseimbangan, kemandirian, keterbukaan, kemitraan, keamanan dan
keselamatan demi kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.
|
Azas:
Pasal 2
Penyelenggaraan
jasa konstruksi berlandas-kan pada asas:
a.
kejujuran dan keadilan;
b.
manfaat;
c.
kesetaraan;
d.
keserasian;
e.
keseimbangan;
f.
kemandirian;
g.
keterbukaan;
h.
kemitraan;
i.
keamanan dan keselamatan;
j.
kebebasan;
k.
pembangunan berkelanjutan; dan
l.
berwawasan lingkungan.
|
3
|
Tujuan
Penyelenggaraan Kegiatan Kons-truksi:
Pasal 3
Pengaturan jasa konstruksi bertujuan untuk:
·
memberikan arah pertumbuhan dan perkembangan jasa konstruksi
untuk mewujudkan struktur usaha yang kokoh, andal, berdaya saing tinggi, dan
hasil pekerjaan konstruksi yang berkualitas;
·
mewujudkan tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi yang
menjamin kesetaraan kedudukan antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam
hak dan kewajiban, serta meningkatkan kepatuhan pada ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku; mewujudkan peningkatan peran masyarakat di bidang jasa
konstruksi.
|
Tujuan
Penyelenggaraan Kegiatan Kons-truksi:
Pasal 3
Pengaturan
penyelenggaraan Jasa konstruk-si bertujuan untuk:
a.
memberikan arah pertumbuhan dan perkembangan jasa konstruksi untuk mewujudkan struktur usaha yang kokoh, andal, berdaya saing tinggi, dan hasil pekerjaan konstruksi yang berkualitas;
b.
mewujudkan tertib penyelenggaraan pekerjaan jasa konstruksi yang menjamin kesetaraan kedudukan antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam hak dan kewajiban,
serta
meningkatkan kepatuhan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c.
mewujudkan peningkatan peran masyarakat di bidang jasa konstruksi;
d.
menata sistem jasa konstruksi yang mampu mewujudkan keselamatan publik dan menciptakan kenyamanan lingkungan terbangun;
e.
menjamin tata kelola penyelenggaraan jasa konstruksi yang baik; dan
f.
menciptakan integrasi nilai seluruh layanan dari tahapan penyelenggaraan jasa konstruksi.
|
NO
|
UU NO. 18 tahun 1999
|
RUU JAKON 2013
|
4
|
Bentuk
Usaha Jasa Konstruksi:
BAB I KETENTUAN
UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan
2. pekerjaan
konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan
dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural,
sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan masing-masing beserta
kelengkapannya, untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain;
4.
penyedia jasa adalah orang perseorangan atau badan yang kegiatan
usahanya menyediakan layanan jasa konstruksi;
9.
perencana konstruksi adalah penyedia jasa orang perseorangan
atau badan usaha yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang perencanaan
jasa konstruksi yang mampu mewujudkan pekerjaan dalam bentuk dokumen
perencanaan bangunan atau bentuk fisik lain;
10.
pelaksana konstruksi adalah penyedia jasa orang
perseorangan atau badan usaha yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang
pelaksanaan jasa konstruksi yang mampu menyelenggarakan kegiatannya untuk
mewujudkan suatu hasil perencanaan menjadi bentuk bangunan atau bentuk fisik
lain;
11.
pengawas konstruksi adalah penyedia jasa orang perseorangan atau
badan usaha yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pengawasan jasa
konstruksi yang mampu melaksanakan pekerjaan pengawasan sejak awal pelaksanaan
pekerjaan konstruksi sampai selesai dan diserahterimakan.
Pasal 4
1.
Jenis usaha jasa konstruksi terdiri dari usaha perencanaan
konstruksi, usaha pelaksanaan konstruksi, dan usaha
pengawasan konstruksi yang masing-masing dilaksanakan oleh perencana
konstruksi, pelaksana konstruksi, dan pengawas konstruksi.
2.
Usaha perencanaan konstruksi mem-berikan
layanan jasa perencanaan dalam pekerjaan
konstruksi yang meliputi rangkaian kegiatan atau
bagian-bagian dari kegiatan mulai dari studi pengembangan sampai dengan
penyusunan dokumen kontrak kerja konstruksi.
3.
Usaha pelaksanaan konstruksi memberikan
layanan jasa pelaksanaan dalam pekerjaan
konstruksi yang meliputi rangkaian kegiatan atau
bagian-bagian dari kegiatan mulai dari penyiapan lapangan
sampai dengan penyerahan akhir hasil pekerjaan konstruksi.
4.
Usaha pengawasan konstruksi memberikan
layanan jasa pengawasan baik keseluruhan maupun sebagian
pekerjaan pelaksanaan konstruksi mulai dari penyiapan lapangan sampai
dengan penyerahan akhir hasil konstruksi.
Pasal
5
1.
Usaha jasa konstruksi dapat berbentuk orang perseorangan atau
badan usaha.
2.
Bentuk usaha yang dilakukan
oleh orang perseorangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) selaku pe-laksana
konstruksi hanya dapat melak-sanakan pekerjaan konstruksi
yang berisiko kecil, yang berteknologi sederhana, dan yang berbiaya
kecil.
3.
Bentuk usaha yang dilakukan oleh orang perseorangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selaku perencana
konstruksi atau pengawas konstruksi hanya dapat
melaksanakan pekerjaan yang sesuai dengan bidang keahliannya.
4.
Pekerjaan konstruksi yang berisiko besar dan/atau yang
berteknologi tinggi dan/atau yang berbiaya besar hanya dapat dilakukan oleh
badan usaha yang berbentuk perseroan terbatas atau badan usaha asing yang dipersamakan.
Pasal
6
Bidang usaha jasa
konstruksi mencakup pekerjaan arsitektural dan/atau sipil dan/atau mekanikal
dan/atau elektrikal dan/atau tata lingkungan, masing-masing beserta keleng-kapannya.
Pasal
7
Ketentuan tentang jenis usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (1), bentuk usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan bidang usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 diatur lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah.
Pasal 8
Perencana konstruksi,
pelaksana konstruk-si, dan pengawas konstruksi yang berbentuk
badan usaha harus
a.
memenuhi ketentuan tentang perizinan usaha di bidang jasa
konstruksi;
b. memiliki
sertifikat, klasifikasi, dan kualifi-kasi perusahaan jasa
konstruksi.
Pasal
9
1.
Perencana konstruksi dan pengawas konstruksi orang perseorangan
harus memiliki sertifikat keahlian.
2.
Pelaksana konstruksi orang perseorangan harus
memiliki sertifikat keterampilan kerja dan sertifikat keahlian kerja.
3.
Orang perseorangan yang dipekerjakan oleh badan usaha sebagai
perencana konstruksi atau pengawas konstruksi atau
tenaga tertentu dalam badan usaha
pelaksana konstruksi harus memiliki sertifikat keahlian.
4.
Tenaga kerja yang melaksanakan pekerjaan keteknikan yang bekerja
pada pelaksana konstruksi harus memiliki sertifikat keterampilan dan keahlian
kerja.
Pasal 10
Ketentuan mengenai
penyelenggaraan peri-zinan usaha, klasifikasi usaha, kualifikasi usaha,
sertifikasi keterampilan, dan sertifikasi keahlian kerja sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal 9 diatur lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah.
Pasal
11
1.
Badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal
8 dan orang perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 harus
bertanggung jawab terhadap hasil pekerjaannya.
2.
Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilandasi
prinsip-prinsip keahlian sesuai dengan kaidah keilmuan, kepatutan, dan
kejujuran intelektual dalam menjalankan profesinya dengan tetap mengutamakan
kepentingan umum.
Untuk mewujudkan terpenuhinya tanggung jawab sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat ditempuh melalui
mekanisme pertanggungan sesuai dengan ketentuan.
Pasal 12
1.
Usaha jasa konstruksi dikembangkan untuk mewujudkan
struktur usaha yang kokoh dan efisien melalui kemitraan yang sinergis
antara usaha yang besar, menengah, dan kecil serta antara
usaha yang bersifat umum, spesialis,
dan keterampilan terten-tu.
2.
Usaha perencanaan konstruksi dan pengawasan konstruksi
dikembangkan ke arah usaha yang bersifat umum dan spesialis.
3.
Usaha pelaksanaan konstruksi dikembang-kan ke arah:
a.
usaha yang bersifat umum dan spesialis;
b.
usaha orang perseorangan yang berke-terampilan kerja.
Pasal 13
Untuk mengembangkan usaha jasa konstruksi
diperlukan dukungan dari mitra usaha melalui:
1.
perluasan dan peningkatan akses terhadap sumber pendanaan, serta
kemudahan persyaratan dalam pendanaan,
2.
pengembangan jenis usaha pertanggungan untuk mengatasi risiko
yang timbul dan tanggung jawab hukum kepada pihak lain dalam pelaksanaan
pekerjaan konstruksi atau akibat dari kegagalan bangunan.
|
Bentuk Usaha
Jasa Konstruksi:
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal
1
Dalam Undang-Undang ini
yang dimaksud dengan:
2.
Pekerjaan konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian kegiatan yang menghasilkan bentuk fisik atau nonfisik konstruksi yang meliputi pengkajian, perencanaan, perancang-an, pembuatan, pengoperasian, peme-liharaan, penghancuran, pembuatan kembali,
dan pengawasan;
4.
Penyedia jasa adalah pemberi layanan jasa konstruksi.
Pasal 14
(1)
Bidang usaha jasa konstruksi didasarkan pada klasifikasi produk
konstruksi yang meliputi:
a.
konstruksi gedung;
b.
konstruksi bangunan sipil; dan
c.
konstruksi khusus;
(2) Ketentuan
mengenai klasifikasi dan subklasifikasi produk
konstruksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan
ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 15
Bidang
usaha jasa konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) meliputi:
a.
pengkajian;
b.
perencanaan;
c.
perancangan;
d.
pembuatan;
e.
pengoperasian;
f.
pemeliharaan;
g.
penghancuran;
h.
pembuatan kembali; dan/atau
i.
pengawasan.
Pasal 16
Usaha
jasa konstruksi berbentuk usaha orang perseorangan atau
badan
usaha, baik yang berbadan hukum maupun tidak berbadan
hukum.
Pasal 17
(1) Klasifikasi usaha jasa
konstruksi diatur sesuai dengan bidang usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan Pasal
15.
(2) Ketentuan
mengenai klasifikasi usaha jasa konstruksi sebagaimana
dimaksud
pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 18
(1) Kualifikasi
usaha orang perseorangan sebagaimana dimaksud
dalam
Pasal 16 terdiri atas:
a.
usaha kecil; dan
b.
usaha menengah.
(2)
Kualifikasi usaha badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 terdiri atas:
a.
usaha kecil;
b.
usaha menengah; dan
c.
usaha besar.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai kualifikasi usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 19
(1) Usaha orang
perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16
hanya
dapat menyelenggarakan pekerjaan konstruksi yang:
a. berisiko kecil;
b. berteknologi
sederhana; dan
c. berbiaya kecil.
(2)
Usaha orang perseorangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) hanya dapat menyelenggarakan pekerjaan
yang sesuai dengan bidang keahliannya.
Pasal 20
Usaha
kecil atau menengah yang berbadan hukum dan yang tidak
berbadan
hukum hanya dapat menyelenggarakan pekerjaan konstruksi yang:
a. berisiko
kecil sampai sedang;
b. berteknologi
sederhana sampai madya; dan
c. berbiaya
kecil sampai sedang.
Pasal 21
Usaha
besar atau badan usaha asing yang berbadan hukum dan
perorangan
asing, hanya dapat menyelenggarakan pekerjaan
konstruksi
yang:
a. berisiko
besar;
b. berteknologi
tinggi; dan atau
c.
berbiaya besar.
Pasal 22
Ketentuan
mengenai kriteria risiko, teknologi, dan biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 20, dan Pasal 21 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 23
Usaha
jasa konstruksi yang dilakukan orang perseorangan dan badan usaha wajib memiliki izin usaha.
Pasal 24
Izin
usaha hanya diberikan kepada usaha orang perseorangan atau badan usaha yang telah memiliki sertifikat sesuai dengan
klasifikasi dan kualifikasi usaha serta telah
teregistrasi.
Pasal 25
(1)
Izin usaha jasa konstruksi baik kepada usaha orang perseorangan maupun
badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 diberikan oleh pemerintah daerah di tempat domisili usaha dan badan usaha.
(2)
Ketentuan mengenai pengaturan lzin usaha jasa konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 26
(1)
Sertifikasi klasifikasi dan kualifikasi usaha jasa konstruksi diberikan oleh Badan Akreditasi dan Sertifikasi Jasa Konstruksi.
(2)
Usaha orang perseorangan dan badan usaha yang telah
mendapat sertifikat, diregistrasi Badan Akreditasi
dan Sertifikasi Jasa Konstruksi.
(3) Data hasil sertifikasi
dan registrasi terhadap usaha orang perseorangan
dan badan usaha di bidang jasa konstruksi
diumumkan
melalui suatu sistem informasi jasa konstruksi.
Pasal 27
(1)
Badan usaha asing dan perseorangan asing yang melakukan usaha jasa konstruksi di wilayah Indonesia wajib:
a.
memiliki sertifikasi usaha dan izin usaha di Indonesia;
b.
membentuk kerja sama operasional dan/atau kerja sama modal
dengan
badan usaha nasional berkualifikasi besar yang telah
disertifikasi
dan diregistrasi;
c.
mengutamakan lebih banyak tenaga kerja Indonesia
daripada tenaga kerja asing;
d.
memiliki teknologi tinggi, mutakhir, efisien, berwawasan lingkungan, serta memperhatikan kearifan lokal; dan
e.
melakukan proses alih teknologi.
(2)
Kepemilikan saham oleh badan usaha asing dan perseorangan asing dalam pembentukan kerja sama modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
NO
|
UU NO. 18 tahun 1999
|
RUU JAKON 2013
|
5
|
Pengikatan Pekerjaan Konstruksi:
BAB I KETENTUAN
UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini
yang dimaksud dengan
5.
kontrak kerja konstruksi adalah keseluruhan
dokumen yang mengatur hubungan hukum antara pengguna jasa dan penyedia jasa
dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi;
|
Pengikatan Pekerjaan Konstruksi:
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal
1
Dalam
Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
5.
Kontrak kerja konstruksi adalah keseluruhan dokumen yang mengatur hubungan hukum antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.
|
Pasal 14
Para pihak
dalam pekerjaan konstruksi terdiri dari:
a. pengguna jasa; b. penyedia jasa.
Pasal
15
1.
Pengguna jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal
14 huruf a, dapat menunjuk wakil untuk melaksanakan
kepentingannya dalam pekerjaan konstruksi.
2.
Pengguna jasa harus memiliki kemampuan membayar biaya
pekerjaan konstruksi yang didukung dengan dokumen pembuktian dari
lembaga perbankan dan/atau lembaga keuangan bukan bank.
3.
Bukti kemampuan membayar sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dapat diwujudkan dalam bentuk lain yang
disepakati dengan mempertimbangkan lokasi, tingkat komplek-sitas,
besaran biaya, dan/atau fungsi ba-ngunan yang dituangkan
dalam perjanjian tertulis antara pengguna jasa dan penyedia jasa.
4.
Jika pengguna jasa adalah
Pemerin-tah, pembuktian kemampuan untuk mem-bayar
diwujudkan dalam dokumen tentang ketersediaan anggaran.
5.
Pengguna jasa harus memenuhi keleng-kapan yang
dipersyaratkan untuk melak-sanakan pekerjaan konstruksi.
Pasal
16
1.
Penyedia jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf b
terdiri dari:
a.
perencana konstruksi;
b.
pelaksana konstruksi;
c.
pengawas konstruksi.
2.
Layanan jasa yang dilakukan oleh penyedia jasa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh tiap-tiap penyedia jasa secara
terpisah dalam pekerjaan konstruksi.
3.
Layanan jasa perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan dapat
dilakukan secara terintegrasi dengan memperhatikan besaran pekerjaan atau
biaya, penggunaan teknologi canggih, serta risiko besar bagi para pihak
ataupun kepentingan umum dalam satu pekerjaan konstruksi.
Pasal
17
1.
Pengikatan dalam hubungan kerja jasa konstruksi
dilakukan berdasarkan prinsip persaingan yang sehat melalui
pemilihan penyedia jasa dengan cara pelelangan umum atau terbatas.
2.
Pelelangan terbatas hanya boleh diikuti oleh
penyedia jasa yang dinyatakan telah lulus prakualifikasi.
3.
Dalam keadaan tertentu, penetapan penyedia jasa dapat dilakukan
dengan cara pemilihan langsung atau penunjukan langsung.
4.
Pemilihan penyedia jasa harus
mempertimbangkan kesesuaian bidang, keseimbangan antara kemampuan
dan beban kerja, serta kinerja penyedia jasa.
5.
Pemilihan penyedia jasa hanya boleh diikuti
oleh penyedia jasa yang memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal 9.
6.
Badan-badan usaha yang dimiliki oleh satu atau kelompok orang
yang sama atau berada pada kepengurusan yang sama tidak boleh mengikuti
pelelangan untuk satu pekerjaan konstruksi secara bersamaan.
Pasal
18
1.
Kewajiban pengguna jasa dalam pengikatan mencakup:
a.
menerbitkan dokumen tentang pemilihan penyedia jasa yang memuat
ketentuan-ketentuan secara lengkap, jelas dan benar serta dapat
dipahami;
b.
menetapkan penyedia jasa secara tertulis
sebagai hasil pelaksanaan pemilihan.
2.
Dalam pengikatan, penyedia jasa wajib menyusun dokumen penawaran
berdasarkan prinsip keahlian untuk disampaikan kepada pengguna jasa.
3.
Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) bersifat mengikat bagi kedua pihak dan salah satu pihak
tidak da-pat mengubah dokumen tersebut secara
sepihak sampai dengan penandatanganan kontrak kerja
konstruksi.
4.
Pengguna jasa dan penyedia jasa
harus menindaklanjuti penetapan tertulis sebagai-mana dimaksud pada
ayat (1) huruf b dengan suatu kontrak kerja
konstruksi untuk menjamin terpenuhinya
hak dan kewajiban para pihak yang secara adil
dan seimbang serta dilandasi
dengan itikad baik dalam penyelenggaraan
pekerjaan konstruksi.
Pasal
19
Jika pengguna
jasa mengubah atau membatalkan penetapan tertulis,
atau penyedia jasa mengundurkan diri setelah
diterbitkannya penetapan tertulis sebagai-mana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b, dan hal tersebut
terbukti menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak, maka
pihak yang mengubah atau membatalkan pene-tapan, atau
mengundurkan diri wajib dikenai ganti rugi atau bisa dituntut
secara hukum.
Pasal
20
Pengguna jasa
dilarang memberikan pekerjaan kepada penyedia jasa yang terafiliasi
untuk mengerjakan satu pekerjaan konstruksi pada lokasi dan dalam kurun
waktu yang sama tanpa melalui pelelangan umum ataupun pelelangan
terbatas.
Pasal
21
(1)
Ketentuan mengenai pemilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
17, kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18, dan pembatalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
19 berlaku juga dalam pengikatan antara penyedia jasa dan subpenyedia
jasa.
(2)
Ketentuan mengenai tata cara pemilihan penyedia jasa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, penerbitan dokumen dan
penetapan penyedia jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18
diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 22
(1) Pengaturan
hubungan kerja berdasarkan hukum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) harus
dituangkan dalam kontrak kerja konstruksi.
(2) Kontrak
kerja konstruksi sekurang-kurang-nya harus mencakup uraian
mengenai:
a.
para pihak, yang memuat secara jelas identitas para pihak;
b.
rumusan pekerjaan, yang memuat uraian yang jelas dan rinci
tentang lingkup kerja, nilai pekerjaan, dan batasan waktu pelaksanaan;
c.
masa pertanggungan dan/atau
pemeliharaan, yang memuat tentang jangka waktu
pertanggungan dan/atau pemeliharaan yang menjadi tanggung jawab
penyedia jasa;
d.
tenaga ahli, yang memuat ketentuan
tentang jumlah, klasifikasi dan kualifikasi tenaga ahli untuk melaksanakan
pekerjaan konstruksi;
e.
hak dan kewajiban, yang memuat hak pengguna jasa untuk
memperoleh hasil pekerjaan konstruksi serta kewajibannya untuk memenuhi
ketentuan yang diperjanjikan serta hak penyedia jasa untuk memperoleh
informasi dan imbalan jasa serta kewajibannya melaksanakan pekerjaan
konstruksi.
f.
cara pembayaran, yang memuat ketentuan tentang
kewajiban pengguna jasa dalam melakukan pembayaran hasil
pekerjaan konstruksi;
g.
cidera janji, yang memuat ketentuan tentang tanggung jawab
dalam hal salah satu pihak tidak melaksanakan kewajiban
sebagaimana diperjanjikan;
h.
penyelesaian perselisihan, yang memuat ketentuan
tentang tata cara penyelesaian perselisihan akibat ketidaksepakatan;
i.
pemutusan kontrak kerja konstruksi, yang memuat
ketentuan tentang pemutusan kontrak kerja konstruksi
yang timbul akibat tidak dapat dipenuhinya kewajiban salah satu
pihak;
j.
keadaan memaksa (force majeure), yang memuat ketentuan tentang
kejadian yang timbul di luar kemauan dan kemampuan para pihak, yang
menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak.
k.
kegagalan bangunan, yang memuat ketentuan tentang
kewajiban penyedia jasa dan/atau pengguna
jasa atas kegagalan bangunan;
l.
perlindungan pekerja, yang memuat ketentuan tentang kewajiban
para pihak dalam pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja serta
jaminan sosial;
m.
aspek lingkungan, yang memuat kewajiban para pihak dalam
pemenuhan ketentuan tentang lingkungan.
(3) Kontrak kerja
konstruksi untuk pekerjaan perencanaan harus memuat ketentuan tentang hak
atas kekayaan intelektual;
(4) Kontrak kerja
konstruksi dapat memuat kesepakatan para pihak tentang pemberian
insentif.
(5) Kontrak
kerja konstruksi untuk kegiatan pelaksanaan dalam pekerjaan
konstruksi, dapat memuat ketentuan tentang sub penyedia
jasa serta pemasok bahan dan atau komponen bangunan dan atau peralatan
yang harus memenuhi standar yang berlaku.
(6) Kontrak kerja
konstruksi dibuat dalam bahasa Indonesia dan dalam hal kontrak kerja
konstruksi dengan pihak asing, maka dapat dibuat dalam bahasa Indonesia dan
bahasa Inggris.
(7) Ketentuan
mengenai kontrak kerja konstruksi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) berlaku juga dalam kontrak kerja konstruksi
antara penyedia jasa dengan subpenyedia jasa.
(8) Ketentuan
mengenai kontrak kerja konstruksi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), hak atas kekayaan
intelektual sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dan
mengenai pemasok dan/ atau komponen bahan bangunan dan/atau
peralatan sebagai-mana dimaksud pada ayat (5) diatur lebih lanjut
dengan peraturan pemerintah.
|
Pasal 28
(1) Para pihak dalam pekerjaan konstruksi terdiri
dari:
a.
Pengguna jasa;
dan
b.
penyedia jasa.
(2)
Pengguna jasa dan penyedia jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
a.
orang perseorangan; atau
b.
badan.
Pasal
29
Ketentuan
mengenai pengikatan antara para pihak sebagaimana
dimaksud
daIam Pasal 28 berlaku sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan
kecuali dinyatakan lain dalam Undang-Undang
ini.
Pasal 30
(1)
Pengikatan dalam hubungan kerja jasa konstruksi bagi pekerjaan konstruksi yang menggunakan pembiayaan yang bersumber dari keuangan negara, dilakukan berdasarkan prinsip persaingan yang sehat melalui pemilihan penyedia jasa dengan cara pelelangan umum atau terbatas.
(2)
Pelelangan terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya boleh diikuti oleh penyedia jasa yang dinyatakan telah lulus prakualifikasi.
(3) Penetapan
penyedia jasa dapat dilakukan dengan cara pemilihan
langsung
atau penunjukan langsung dalam keadaan:
a.
penanganan darurat untuk keamanan dan keselamatan masyarakat;
b.
pekerjaan yang kompleks yang hanya dapat dilaksanakan oleh penyedia jasa yang sangat terbatas atau hanya dapat dilakukan oleh pemegang hak;
c.
pekerjaan yang perlu dirahasiakan, yang menyangkut keamanan dan keselamatan negara; dan
d.
pekerjaan yang berskala kecil.
(4) Pemilihan penyedia jasa harus mempertimbangkan:
a.
kesesuaian bidang;
b.
keseimbangan antara kemampuan dan beban kerja; dan
c.
kinerja penyedia jasa.
(5) Pemilihan
penyedia jasa hanya boleh diikuti oleh penyedia jasa
yang
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
24
dan Pasal 25.
(6) Badan-badan usaha yang dimiliki oleh satu atau kelompok orang yang sama atau berada pada kepengurusan yang sama dilarang mengikuti pelelangan untuk satu pekerjaan konstruksi secara bersarmaan.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban pengguna jasa dan penyedia jasa, mekanisme pemilihan penyedia jasa dan penetapan penyedia jasa dalam hubungan kerja jasa konstruksi yang menggunakan dana/keuangan /anggaran negara diatur dalam Per-aturan Pemerintah.
Pasal 31
Pengguna
jasa dilarang memberikan pekerjaan konstruksi untuk
pembangunan
kepentingan umum kepada penyedia jasa yang terafiliasi
tanpa
melalui pelelangan umum atau pelelangan terbatas.
Pasal 32
(1)
Pengaturan hubungan kerja berdasarkan hukum antara pengguna jasa dan penyedia jasa harus dituangkan dalam kontrak kerja konstruksi.
(2)
Bentuk kontrak kerja konstruksi dapat mengikuti perkembangan kebutuhan dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 33
(1)
Kontrak kerja konstruksi sekurang-kurangnya harus mencakup
uraian mengenai:
a.
para pihak, yang memuat secara
jelas
identitas para pihak;
b.
rumusan pekerjaan, yang memuat uraian yang jelas dan rinci tentang lingkup kerja, nilai pekerjaan, dan batasan waktu pelaksanaan;
c.
masa pertanggungan dan/atau pemeliharaan, yang memuat tentang jangka waktu pertanggungan dan/atau pemeliharaan yang menjadi tanggung jawab penyedia jasa;
d.
tenaga ahli, yang memuat ketentuan tentang jumlah, klasifikasi
dan kualifikasi
tenaga ahli untuk melaksanakan pekerjaan
konstruksi;
e.
hak dan kewajiban, yang memuat hak pengguna jasa untuk memperoleh hasil pekerjaan konstruksi serta kewajibannya untuk memenuhi ketentuan yang diperjanjikan serta hak penyedia jasa untuk memperoleh informasi dan imbalan jasa serta kewajibannya melaksanakan pekerjaan konstruksi;
f.
cara pembayaran, yang memuat ketentuan tentang kewajiban pengguna jasa dalam melakukan pembayaran hasil pekerjaan konstruksi, termasuk di dalamnya jaminan atas pembayaran;
g.
cidera janji, yang memuat ketentuan tentang tanggung jawab dalam hal salah satu pihak tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana
diperjanji-kan;
h.
penyelesaian perselisihan, yang memuat ketentuan tentang tata cara penyelesaian perselisihan akibat ketidaksepakatan;
i.
pemutusan kontrak kerja konstruksi, yang memuat ketentuan tentang pemutusan kontrak kerja konstruksi yang timbul akibat tidak dapat dipenuhinya kewajiban salah satu pihak;
j.
keadaan memaksa yang memuat ketentuan tentang kejadian yang timbul di luar kemauan dan kemampuan para pihak, yang menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak.
k.
kegagalan pekerjaan konstruksi dan kegagalan bangunan yang memuat ketentuan tentang kewajiban penyedia jasa dan/atau pengguna jasa atas kegagalan pekerjaan konstruksi dan kegagalan bangunan dan jangka waktu pertanggung-jawaban kegagalan bangunan;
l.
perlindungan pekerja, yang memuat ketentuan tentang kewajiban para pihak dalam pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja serta jaminan sosial;
m.
perlindungan terhadap pihak ketiga selain para pihak dan pekerja, yang memuat kewajiban para pihak dalam hal terjadi kegagalan konstruksi yang menimbulkan kerugian atau menyebabkan kecelakaan dan/atau kematian orang-orang di luar tenaga kerja;
n.
aspek lingkungan, yang memuat kewajiban para pihak dalam pemenuhan ketentuan tentang lingkungan; dan
o.
jaminan atas risiko yang timbul dan tanggung jawab hukum kepada pihak lain dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi atau akibat dari kegagalan pekerjaan konstruksi.
(2)
Selain ketentuan sebagaimana di-maksud pada ayat (1), kontrak kerja konstruksi dapat memuat kesepakatan para pihak tentang pemberian insentif.
Pasal 34
Selain
memuat ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33,
kontrak
kerja konstruksi untuk pekerjaan perencanaan harus memuat ketentuan tentang hak atas kekayaan intelektual.
Pasal 35
(1)
Selain memuat ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, kontrak kerja konstruksi untuk kegiatan pelaksanaan dalam pekerjaan konstruksi, dapat memuat ketentuan tentang subpenyedia jasa serta pemasok bahan dan/atau komponen bangunan dan/atau peralatan yang harus memenuhi standar yang berlaku.
(2)
Ketentuan mengenai kontrak kerja konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 berlaku juga dalam kontrak kerja konstruksi antara penyedia jasa dengan subpenyedia jasa.
Pasal 36
(1)
Kontrak kerja konstruksi dibuat dalam bahasa Indonesia.
(2)
Dalam hal kontrak kerja konstruksi dilakukan dengan pihak asing, dapat dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
Pasal 37
Ketentuan
lebih lanjut mengenai kontrak kerja konstruksi
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1), pemberian insentif
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2), hak atas kekayaan
intelektual
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, dan mengenai
pemasok
dan/atau komponen bahan bangunan dan/atau peralatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, diatur dalam Peraturan Pemerintah.
|
Dari UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi dan RUU Jasa
Konstruksi di atas dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1.
Jumlah pasal
pada UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi adalah 46 pasal dan pada RUU
Jasa Konstruksi berjumlah 97 pasal, termasuk didalamnya pasal mengenai Ketentuan
Peralihan dan pasal mengenai Ketentuan Penutup.
2.
Kedua
undang-undang memiliki kesamaan pada Pasal 1, yakni mengenai Ketentuan Umum. Ketentuan
Umum pada UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa
Konstruksi ada 11 definisi sedangkan pada RUU Jasa Konstruksi berjumlah 15 definisi.
3.
Pada UU No. 18
Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi tidak ada pasal khusus mengenai Sumber Daya
Manusia, tetapi dibahas pada RUU Jasa Konstruksi.
(Berikut
tabel yang berisikan bahasan mengenai isi UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi
dan RUU Jasa Konstruksi)
No comments:
Post a Comment