KAJIAN
GABUNGAN
PERUSAHAAN KONSTRUKSI NASIONAL INDONESIA
(GAPEKSINDO)
ATAS
DRAFT
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
JASA KONSTRUKSI TAHUN 2013
A.
PENDAHULUAN:
"Jasa Konstruksi" adalah salah satu usaha dalam sektor
ekonomi yang berhubungan dengan suatu perencanaan atau pelaksanaan dan atau
pengawasan suatu kegiatan konstruksi, untuk membentuk suatu bangunan atau
bentuk fisik lain yang dalam pelaksanaan penggunaan atau pemanfaatan bangunan
tersebut menyangkut kepentingan dan keselamatan masyarakat pemakai/pemanfaat
bangunan tersebut, tertib pembangunannya serta kelestarian lingkungan hidup,
sesuai dengan definisi yang
tercantum dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 1999.
Dalam konteks mewujudkan visi dan misi pembangunan Indonesia, proses
implementasi jasa konstruksi selalu berhubungan dengan aktifitas penyediaan dan
pengelolaan aset bangunan fisik, baik dalam bentuk infrastruktur dasar seperti
jaringan jalan, perumahan, pemukiman maupun gedung-gedung serta bangunan
industri. Kegiatan penyediaan dan pengelolaan aset bangunan fisik ini akan
menggerakan aktifitas ekonomi yang digerakan oleh aktifitas jasa konstruksi.
Hasil dari aktifitas tersebut akan menghasilkan produk bangunan yang menjadi
salah satu indikator utama daya saing bangsa.
Kerangka teoritis konstruksi pada dasarnya terdiri atas usaha
(industri) dan pengusahaan (tata niaga) dari suatu produk konstruksi. Modalitas
dari sektor konstruksi adalah permodalan, sumber daya manusia, teknologi dan model proses bisnis serta
informasi, akses pasar, sistem transaksi dan penjaminan kualitas, sistem
kontrak, serta peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan jasa
konstruksi.
Penataan peraturan perundang-undangan untuk sektor jasa konstruksi
merupakan bagian penting dan proses pengelolaan sektor konstruksi. Oleh karena
itu sejak tahun 1999 kita telah memiliki undang-undang yang berkenaan dengan
jasa konstruksi yakni UU No. 18 tahun 1999. Berdasarkan Pasal 3 pada undang-undang
tersebut, disebutkan bahwa pengaturan jasa konstruksi bertujuan untuk:
· Memberikan arah pertumbuhan dan perkembangan jasa konstruksi untuk
mewujudkan struktur usaha yang kokoh, andal, berdaya saing tinggi, dan hasil
pekerjaan konstruksi yang berkualitas;
· Mewujudkan tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi yang
menjamin kesetaraan kedudukan antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam hak
dan kewajiban, serta meningkatkan kepatuhan pada ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku; mewujudkan peningkatan peran masyarakat
di bidang jasa konstruksi.
Secara kontekstual akibat perubahan yang terjadi di tingkat
masyarakat dan iklim usaha, beberapa ketentuan di dalam Undang-Undang No. 18
tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi perlu memperhatikan perkembangan jasa
konstruksi di tingkat global. Salah satunya terkait dengan aspek pembagian
bidang usaha ASMET (Arsitek, Sipil, Mekanikal, Elektrikal, dan Tata Lingkungan)
yang tertera dalam undang-undang tersebut. Pada tingkat global sesuai standar
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) usaha jasa konstruksi dibagi berdasarkan
Central Product Classification (CPC).
Aspek lain dari rencana pengubahan UU No. 18 Tahun 1999 yang telah
14 tahun kita pergunakan, oleh Komisi V DPR RI, adalah penyempurnaan masalah
pada apek tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia akibat dari liberalisasi
perdagangan dunia, aspek kegagalan bangunan, aspek kegagalan pekerjaan
konstruksi, aspek Penilai Ahli, aspek akreditasi dan sertifikasi, aspek kontrak,
aspek sumber daya manusia, aspek mata rantai sub-penyedia jasa/industri
konstruksi, dan aspek-aspek lainnya yang mengikuti kekinian jasa konstruksi.
Untuk itu diperlukan pendalaman kajian untuk dapat melakukan perubahan regulasi
jasa konstruksi di Indonesia.
B.
DASAR TELAAH:
Sektor jasa konstruksi menjadi arena pertemuan antara penyedia
jasa dan pengguna jasa, dan mempunyai posisi strategis sebagai pendukung
tercapainya pembangunan nasional. Konstribusi sektor jasa konstruksi terhadap
Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia mencapai nilai 10,3% pada triwulan II
tahun 2012, atau meningkat
senilai 211 trilyun (data BPS). Sektor jasa konstruksi sebagai
penyumbang keenam terbesar PDB pada tahun 2011, naik 6,7% dibanding tahun 2010,
menjadi Rp. 756 trilyun. Pada
tahun 2012 pertumbuhan perekonomian nasional 6,2% sementara sektor jasa
konstruksi 6,507% (di atas rata-rata pertumbuhan nasional). Di sisi lain
penyerapan tenaga kerja sektor konstruksi pada tahun 2011 adalah 5,7 juta – 7,2 juta pekerja dan pada tahun 2012 sebesar
6,3 juta – 7,5 juta pekerja, sementara penyerapan tenaga kerja sektor
konstruksi sebelum tahun 1999 (diberlakukannya Undang-Undang No. 18 Tahun 1999
tentang Jasa Konstruksi) dibawah 2,4 juta
pekerja (3% dari angkatan kerja). *lihat data bps terlampir
Hal ini menempatkan sektor jasa konstruksi menjadi salah satu
sektor strategis dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan mendukung tercapainya
tujuan pembangunan nasional, sehingga perubahan regulasi di sektor
ini hendaknya menjadi sebuah aspek “keberhati-hatian” (bukan sektor yang layak dipertaruhkan dalam konotasi
spekulatif/lihat tinjauan grafik ekonomi
pra Undang-Undang Jasa Konstruksi No. 18 tahun 1999 dan pada periode Undang-Undang
Jasa Konstruksi No. 18 Tahun 1999)
Berdasarkan pendapat Komisi V DPR RI, penyelenggaraan jasa konstruksi masih terdapat banyak
permasalahan, baik disisi pembangunan, kelembagaan, akreditasi dan sertifikasi, pembinaan (pengaturan,
pemberdayaan, dan pengawasan) serta penegakan hukum. Hal ini menjadi salah satu urgensi perubahan UU
No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi yang dilakukan oleh Komisi V DPR RI.
RUU tentang perubahan atas UU yang mengatur jasa konstruksi ini
adalah salah satu RUU inisiatif DPR RI dalam prolegnas (program legislasi
nasional) tahun 2010-2014 dan menjadi salah satu prioritas untuk dibahas oleh
Komisi V DPR RI dalam masa sidang 2013.
Poin-poin penyempurnaan yang dilakukan oleh Komisi V DPR RI pada
RUU ini, bila diperhatikan, menyentuh 15 aspek yang ada pada UU No. 18 Tahun
1999, diantaranya adalah aspek pengusaha jasa konstruksi, aspek kegagalan
konstruksi, jaminan pembiayaan, pengembangan teknologi, kelembagaan,
partisipasi masyarakat dan penyelesaian sengketa. Meskipun dalam daftar
Prolegnas RUU prioritas tahun 2013 dengan judul RUU tentang Perubahan atas UU
No. 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, namun dari sisi perencanaan
peraturan perundang-undangan, perubahan UU ini cenderung pada arah penggantian.
Oleh karena itu pada awal Bulan Maret 2013, DPP Gapeksindo telah
mengeluarkan sebuah surat tugas kepada tim kecil di lingkungan Gapeksindo untuk
menelaah masalah draft RUU Jasa Konstruksi yang digodok oleh Komisi V DPR RI dimaksud,
berdasarkan Surat Keputusan DPP Gapeksindo No. 01/SK/DPP/III/2012 tentang
Pembentukan Tim Pengkajian RUU Jasa Konstruksi Gapeksindo.
Kajian mencakup hal-hal berikut ini:
Pertama, Korelasi antara UUD 1945 dan perundangan lainnya dengan draft
RUU Jasa Konstruksi,
Kedua, Matriks antara draft
RUU Jasa Konstruksi dengan UU No. 18 Tahun 1999 ten-tang Jasa Konstruksi,
Ketiga, Masukan dan saran hasil pengkajian guna
dibahas dalam Rapat Pengurus Harian DPP Gapeksindo yang akan memberikan masukan
kepada Lembaga-Lembaga terkait.
C.
RISALAH KAJIAN:
1. UUD 1945 (amandemen ke-4), khususnya pada
· Pasal 28:
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan
undang-undang.
· Pasal 28E:
Ayat (2) Setiap orang berhak atas
kebebasan meyakini kepercayaan, menya- takan pikiran dan sikap, sesuai dengan
hati nuraninya.
Ayat (3) Setiap orang berhak atas
kebebasan berserikat, berkumpul, dan me-ngeluarkan pendapat.
· Pasal 28F:
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi
untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk
mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi
dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
2. Undang Undang Republik Indonesia No. 18 tahun 1999 tentang jasa
konstruksi.
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2005 mengenai Jaminan
Hak-Hak Sipil dan Politik.
4. Undang-Undang Republik Indonesia No. 12 tahun 2008 tentang
perubahan Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
5. Undang-Undang Republik Indonesia No. 9 tahun 1995 tentang
Perlindungan Usaha Kecil dan Menengah.
6. Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
7. Undang Undang Republik Indonesia No. 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen.
8. Undang Undang Republik Indonesia No. 30 tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Masalah Penyelesaian Sengketa.
9. Peraturan Pemerintah No. 4 tahun 2010 jo PP No. 92 tahun 2010 tentang perubahan atas PP No. 28 tahun 2000 tentang Usaha dan
Peran Masyarakat Jasa Konstruksi.
10. Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2000 tentang Usaha dan Peran
Masyarakat Jasa Konstruksi.
11. Peraturan Pemerintah No. 59 tahun 2010
tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 29
tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi.
12. Peraturan Pemerintah No. 29 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan
Jasa Konstruksi.
13. Peraturan Pemerintah No. 30 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan
Pembinaan Jasa Konstruksi, dan
14. Peraturan perundang-undangan terkait
lainnya.
15. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Gapeksindo.
16. Hasil keputusan rapat terbatas pengurus harian DPP Gapeksindo
tanggal 5 Maret 2013 untuk pembentukan Tim Pengkaji RUU Jasa Konstruksi.
17. Surat Keputusan DPP Gapeksindo No. 01/SK/DPP/III/2012 tentang
Pembentukan Tim Pengkajian RUU Jasa Konstruksi Gapeksindo.
D.
HASIL KAJIAN:
d.1 Korelasi
antara UUD 1945 dan perundangan lainnya dengan draft RUU Jasa Konstruksi:
Pengertian konstitusi (UUD) menurut K. C. Wheare: konstitusi adalah keseluruhan sistem
ketatanegaraaan suatu negara yang berupa kumpulan peraturan yang membentuk
mengatur/memerintah dalam pemerintahan suatu negara. Sedangkan menurut Herman Heller, konstitusi mempunyai arti lebih luas
daripada UUD. Konstitusi tidak hanya bersifat yuridis tetapi juga bersifat
sosiologis dan politis.
Sementara itu, syarat–syarat konvensi dari sebuah undang-undang adalah:
1.
Diakui dan
dipergunakan berulang–ulang dalam praktik penyelenggaraan negara.
2.
Tidak
bertentangan dengan UUD 1945.
3.
Memperhatikan
pelaksanaan UUD 1945.
Kedudukan UUD 1945 yaitu:
1.
Dengan adanya
UUD 1945, penguasa dapat mengetahui aturan/ketentuan pokok mendasar
mengenai ketatanegaraan.
2.
Sebagai hukum
dasar.
3.
Sebagai hukum
yang tertinggi di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Berdasarkan syarat–syarat konvensi dan kedudukan dari UUD 1945 di
atas maka pasal demi pasal dari RUU RI tentang Jasa Konstruksi harus
dikorelasikan terhadap keberadaan dari UUD 1945 serta peraturan perundangan
lainnya. Dari
kajian kami dapat dinyatakan bahwa RUU RI tentang Jasa Konstruksi terbaru yang
kami dalami belum ditemukan hal-hal yang bertentangan dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Walau demikian sebagai perbandingan kita lihat adanya perbedaan
antara UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi dengan RUU Jasa Konstruksi dimana apa yang tertulis:
Pada UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi:
Mengingat:
Pasal
5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33 ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945;
Pada RUU Jasa Konstruksi:
Mengingat:
Pasal 20 dan Pasal 21 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Maka pada RUU Jasa Konstruksi dibuang Pasal 33
ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945; Pasal 33 dari UUD 1945 (amandemen ke-4, semangat reformasi) itu
sendiri berbunyi:
(1)
Perekonomian disusun sebagai
usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
(4)
Perekonomian nasional
diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan,
efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta
dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Oleh karenanya diusulkan
Pasal 33 ayat (1) dan ayat (4) ini
menjadi roh dalam
RUU Jasa Konstruksi, sehingga menjadi:
Mengingat:
Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 33 ayat (1) dan ayat
(4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
d.2 Matriks antara draft RUU Jasa Konstruksi
dengan UU No. 18 Tahun 1999 ten-tang Jasa Konstruksi:
Undang-Undang sebagai fungsi hukum tentu diharapkan berlaku dalam
jangka waktu panjang dan tidak mudah usang dihadapkan dengan perkembangan
masyarakat. Ketentuan cara perubahan yang sulit dimaksudkan agar perubahan undang-undang
dilakukan dengan pertimbangan yang benar-benar matang, bukan pertimbangan
sederhana apalagi hanya karena keinginan atau kepentingan kelompok tertentu. Mekanisme
khusus juga dimaksudkan agar dalam proses perubahan undang-undang memberikan
ruang dan waktu yang memadai bagi masyarakat jasa konstruksi untuk menyampaikan
pandangan dan terlibat dalam diskursus publik.
Dengan demikian, undang-undang akan benar-benar terwujud sebagai
kesepakatan bersama seluruh stakeholders,
bukan produk “elit politik” semata. Karena itu, usulan perubahan undang-undang harus
dilandasi oleh pemikiran mendasar dan penting (secara filosofis dan sosiologis). Pemikiran mendasar dimaksudkan bahwa perubahan tersebut
dilandasi oleh perubahan mendasar yang terjadi di masyarakat atau perubahan
tersebut benar-benar dibutuhkan untuk memperbaharui tatanan kehidupan berbangsa
dan bernegara. Perubahan juga harus bersifat penting, artinya tidak ada jalan
lain yang dapat dilakukan selain melalui perubahan secara formal.
L. J.
Van Apeldoorn, seorang profesor berkebangsaan Belanda, di dalam bukunya yang
terjemahannya sudah dicetak 21 kali, berjudul “Pengantar Ilmu Hukum” yang
merupakan salah satu literatur utama bagi mahasiswa-mahasiswa Fakultas Hukum di
Indonesia, menyatakan bahwa:
“Hukum pada masa ini dan hukum pada masa lampau merupakan
satu kesatuan. Itu berarti bahwa kita dapat mengerti hukum kita pada masa kini,
hanya dengan penyelidikan sejarah; bahwa mempelajari hukum secara ilmu
pengetahuan harus bersifat juga mempelajari sejarah. Azas dari segala
penyelidikan keilmuan ialah bahwa memperoleh pengertian tentang gejala-gejala
tak akan mungkin dengan tiada mengetahui hubungan-hubungannya.”
(Berikut
adalah matriks berbentuk tabel berisikan perbandingan antara UU No. 18 tahun
1999 tentang Jasa Konstruksi dengan RUU RI tentang Jasa Konstruksi tahun 2013)
No comments:
Post a Comment